Udara sore di rumah sakit terasa berat, seperti ikut menyerap kesedihan yang menggantung di ruang rawat VVIP itu. Tirai putih bergoyang perlahan ditiup angin dari ventilasi, sementara cahaya senja menimpa wajah pucat Nadine yang bersandar di bantal. Di pangkuannya, selembar hasil pemeriksaan dari dokter kandungan masih terlipat rapi, namun matanya tak lepas darinya—seakan huruf-huruf di kertas itu sedang menertawakannya dengan dingin. Sudah tiga hari ia menolak menemui Sean. Setiap kali namanya disebut oleh perawat atau oleh Sienna, ia hanya memalingkan wajah dan berucap lirih, “Aku belum siap.” Tapi hari ini, ia tidak bisa lagi menolak tamu. Bukan Sean—melainkan keluarganya. Suara pintu diketuk lembut, dan begitu dibuka, tiga sosok masuk bersama aroma parfum elegan dan langkah yang be

