Langit sore di Jakarta tampak kelabu ketika mobil hitam berhenti di depan rumah sakit swasta terbesar di pusat kota. Sienna keluar lebih dulu, wajahnya tegang, memeluk bahu Nadine yang pucat. Setelah beberapa hari Nadine berada di rumah Sienna, tubuhnya akhirnya menyerah. Panas tinggi dan nyeri di bagian perut membuat langkahnya gemetar. “Pelan-pelan, Nadine. Kita udah sampai,” ucap Sienna pelan, menahan air mata. Nadine hanya mengangguk, matanya menatap kosong ke lantai marmer lobi rumah sakit. Ia lelah, terlalu lelah, bukan hanya karena tubuhnya, tapi karena semua yang pecah di Paris. Kelelahan itu yang membuat hati, mental, dan fisiknya sampai hancur seperti sekarang. Beberapa jam kemudian, Nadine sudah terbaring di kamar VVIP, selimut putih membungkus tubuhnya yang kurus. Dokter ma

