Malam di Jakarta turun seperti kabut pelan—sunyi, tenang, tapi menyimpan sesuatu yang menggantung di udara. Hujan baru saja reda, menyisakan sisa embun di kaca mobil Sean. Ia memandangi lampu-lampu kota dari balik kemudi, membiarkan pikirannya berputar, kalut, dan tidak tahu harus ke mana. Rumah sakit, rumah orangtuanya, atau pulang ke penthouse Nadine yang kini terasa seperti ruang asing baginya? Tidak satu pun terasa benar. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, tangannya membelokkan setir ke arah lain. Ia tahu alamat itu terlalu melekat di ingatannya, sama seperti wajah seseorang yang berusaha ia hapus tapi tak pernah bisa. Gwen. Lift berhenti di lantai tertinggi. Penthouse itu masih sama seperti dulu: wangi vanila samar, aroma bunga segar, dan cahaya lampu temaram yang menenangkan. Ketika

