ONS Partner

1096 Kata
[21+ part] Gwen tak menyangka bahwa ciuman Sean benar-benar memabukkan! Pria itu sangat lihai sekali dalam mencium bibirnya, mengulum bibirnya, dan memainkan lidahnya didalm mulut Gwen—bergulat dengan lidah Gwen ketika ia membuka mulutnya karena terengah ketika tangan Sean mulai bergerak membelai dadaanya. Ciuman tersebut membuat Gwen tidak sadar bahwa dirinya perlahan-lahan melangkah mundur kebelakang menuju kasur berukuran king size tersebut. Lalu Gwen merasakan tubuhnya perlahan didorong begitu lembut oleh Sean hingga punggungnya menyentuh seprai dingin nan lembut di ranjang besar itu. Ciuman mereka masih berlanjut, jarak diantara Sean dan Gwen nyaris tidak ada lagi diatas ranjang tersebut. Tubuh Gwen terlentang di atas seprai satin yang terasa dingin tersebut, sementara tubuh Sean menunduk—mengurung tubuh mungilnya, masih dengan ciuman yang tak kunjung terputus. Jemari Gwen bergetar ketika ia merai tengkuk Sean, menahannya lebih dekat dan ciuman mereka semakin dalam. Ia merasakan kulit tubuhnya meremang, entah karena alcohol atau akal sehatnya sudah putus, namun ia sangat ketagihan dengan ciuman Sean walaupun Sean adalah strangerbaginya. Semakin dalam ciuman itu, semakin bergerilya tangan Sean pada tubuh indah Gwen yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang dan ia merasa tegang. Sampai saat tangan Sean menelusup masuk kedalam sweater Gwen dan masih menyentuh perut ratanya, Sean menahan dirinya sejenak dan akhirnya mengakhiri ciuman mereka berdua. Keduanya terengah, saling bersitatap. “Aku bisa berhenti sekarang kalau kamu mau,” bisiknya dengan suara serak. Sean menatap Gwen begitu dalam, sorot matanya menembus, seolah dapat ingin membaca isi hati Gwen. Gwen balas menatapnya, dadaanya naik turun, wajahnya merah oleh gairah yang tak bisa ia sembunyikan. “Teruskan saja, jangan berhenti.” Suara Gwen nyaris tak terdengar, namun cukup untuk membuat Sean kembali melumat bibirnya dengan penuh napsu yang tak bisa dijelaskan. Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut. Tangan Sean menyusuri wajah Gwen, turun ke leher, berhenti di tulang selangka yang terekspos karena sweater tipis yang dipakainya. Ia mengecup pelan di sana, membuat Gwen tak bisa menahan desah lirih yang lolos begitu saja dari bibirnya. “Sean…” Namanya meluncur lirih dari di sela-sela desahan Gwen, membuat Sean semakin tak sanggup melepaskannya. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Gwen, menarik tubuhnya hingga menempel erat pada dadaanya. Gwen merasa dadaanya berdegup tak beraturan, seolah jantungnya akan meledak kapan saja. Tubuh mereka bergerak beriringan, mencari kenyamanan satu sama lain, membiarkan setiap inci kulit saling mengenal dalam keintiman yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Tangannya saling mencari—Gwen meremas kerah kaus Sean, sementara jemari Sean menelusuri sisi wajah Gwen, turun ke lengannya, hingga menggenggam tangannya erat di atas ranjang. Seolah ia ingin menegaskan: malam ini hanya milik mereka. Petasan di luar jendela masih berkilat sesekali, cahayanya memantul di kaca besar kamar, menyinari siluet tubuh mereka yang saling bertautan. Suara ledakan di langit bersatu dengan suara napas yang kian tak beraturan, dengan bisikan-bisikan lirih di telinga. Tangan Sean kemudian bergerak keatas menarik sweater Gwen dan berlanjut menanggalkan satu persatu kain yang melekat pada tubuhnya, begitu pula Gwen yang membantu Sean menanggalkan pakaiannya. Akal sehat Gwen seperti sudah putus, jantungnya berdegup semakin kencang ketika kulit mereka bersentuhan, menyalurkan hawa panas yang penuh Hasrat. “Apakah kamu masih ingin melanjutkannya?” tanya Sean lagi, memastikan. Gwen mengangguk malu-malu dan berbisik di sela ciuman mereka, “aku masih ingin melanjutkan ini semua, aku nggak mau kehilangan momen ini. Aku ingin menghabiskan malam denganmu, Sean.” Seolah itu merupakan jawaban pasti, Sean kemudian kembali mencium Gwen lebih dalam, lebih intens. Setiap ciuman seolah membawa janji dan rahasia diam-diam yang tak seorang pun boleh tahu. Gwen membalas dengan gairah yang sama, tubuh mereka menyatu diiringi dengan lenguhan kenikmatan, dan hati Gwen tuntuh di hadapan lelaki asing yang entah kenapa terasa begitu dekat. Ketika tubuh mereka mulai menyatu, Gwen berusaha membalas setiap sentuhan Sean, mengikuti ritme gerakan tubuh Sean, meski tubuhnya tampak kaku dan gemetar. Sean sendiri mulai merasa aneh dibawah sana. Semula, Sean mengira Gwen hanya malu, sampai ketika ia bergerak lebih jauh—ia merasakan sesuatu yang membuat terhenti. Ada darah dibawah sana. “Gwen?!” suara Sean tercekat, napasnya berat. Matanya membesar, menatap wajah Gwen yang memejam rapat, tangannya meremas seprai dengan kuat. Kepala Sean terasa pening di tengah-tengah percintaan. Siapa sangka wanita asing yang baru ditemuinya dan sudah handal berciuman serta sentuhannya begitu memabukkan, namun ternyata masih perawan. Sean menjadi yang pertama kali untuk Gwen. Gwen lalu membuka matanya perlahan, terdapat ketakutan yang berusaha ia sembunyikan di sana. Pipinya sampai merah padam dan bibirnya bergetar. Sean menahan gerakannya, “Kamu… ini pertama kalinya untukmu?” suaranya rendah, nyaris berbisik, penuh keterkejutan sekaligus ragu. Gwen terdiam, lalu menoleh ke arah lain, dia sangat malu. Gwen memilih untuk tidak menjawab, tapi sorot matanya yang berkaca-kaca sudah menjadi jawaban. Sean terdiam cukup lama, hatinya bergemuruh. Ia tidak pernah menyangka, di malam yang salah ini, justru dialah orang pertama yang menyentuh Gwen. Ada rasanya bersalah, tapi juga rasa hangat yang aneh menjalari dadaanya. Perlahan, Sean meraih wajah Gwen dengan kedua tangannya, memaksanya kembali menatap. “Hei… lihat aku.” Suaranya lembut. Dengan mata yang masih basah, Gwen akhirnya menoleh, dan Sean tersenyum tipis. “Jika aku akhiri maka sama saja, aku sudah mengambil keperawananmu. Aku akan hati-hati, aku janji.” Gwen menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Sean. Sean menunduk, kembali mencium bibirnya, kali ini lebih lembut, penuh kesabaran. Setiap gerakannya melambat, seolah ingin meyakinkan Gwen bahwa ia tidak akan disakiti. Tangan mereka saling menggenggam erat, jemari Sean menenangkannya dengan sentuhan. Gwen menghela napas panjang, tubuhnya masih gemetar, namun lambat lauh mulai rileks karena cara Sean memperlakukannya. Di tengah gairah yang membakar, ada ketulusan yang membuatnya merasa aman. Sean sendiri masih terkejut, ia tidak pernah membayangkan bahwa akan menjadi yang pertama bagi Gwen. Dan entah kenapa, fakta itu membuatnya semakin tak ingin melupakan mala mini dan Sean yakin bahwa ia tidak akan melupakan Gwen. Malam itu berlarut panjang. Mereka berbicara dengan bahasa tubuh, dengan desah dan sentuhan, dengan pelukan yang menolak untuk melepaskan. Tidak ada lagi masa lalu, tidak ada lagi liontin yang tenggelam di laut. Hanya ada Sean dan Gwen, dua jiwa yang tersesat, menemukan satu sama lain di malam yang salah… namun terasa benar. Ketika akhirnya mereka terbaring saling merengkuh dalam diam, Gwen memejamkan mata, kepalanya bersandar di d**a Sean. Ia mendengar detak jantungnya—cepat, berat, sama kacau seperti miliknya sendiri. Sean mengecup puncak kepalanya, berbisik, “Aku nggak akan lupa malam ini… bahkan kalau besok dunia berubah sekalipun.” Gwen tersenyum samar di dalam gelap, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa dicintai. Walaupun Gwen belum tahu kenyataannya jika mala mini adalah pesta bujang Sean dan tiga hari lagi Sean akan menikah dengan wanita lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN