Suasana ruang keluarga keluarga Mahardika sore itu terasa tegang, meski cahaya lembut dari lampu gantung berkilau hangat di langit-langit. Para direktur sudah bubar dari ruang rapat sejak beberapa jam lalu, meninggalkan desas-desus yang berputar cepat seperti angin. Rapat akuisisi akbar yang seharusnya menjadi tonggak sejarah gagal berlanjut hanya karena satu kursi kosong: kursi Nadine. Mama Sean, seorang wanita berwibawa dengan selera busana yang tak pernah gagal membuatnya tampak anggun, duduk di sofa panjang. Tangannya yang halus menggenggam cangkir teh, tapi matanya tajam, penuh selidik. Ia tidak menyukai ketidakteraturan. Dalam dunia keluarga Mahardika, nama baik dan reputasi adalah segalanya. “Joseph,” panggilnya dengan suara tenang namun sarat tekanan. Sekretaris pribadi Sean yan

