"Nanti yang Kakak tangkap, dapat hukuman pijetin Kakak!" Terdengar suara lantang seorang perempuan yang sedang mengejar dua adik kembarnya di dalam rumah.
Elio dan Elia menjerit dan tertawa sambil berlari-lari di antara sofa dan meja, menghindari tangan Syakira yang berusaha menangkap mereka. Tak ada rasa lelah di wajah imut mereka, hanya semangat dan keceriaan yang memancar dari sorot mata mereka, meski napas mereka terengah-engah. Tawa mereka berpadu dengan candaan Syakira, membuat suasana sore itu terasa begitu hangat dan hidup.
“Kak Syakila curang! Kakak kan udah tua, kaki kakak lebih panjang!” teriak Elia sambil melompat ke belakang sofa.
"Iya, ini namanya enggak adil!" imbuh Elio mengembungkan pipinya. "Kak Syakila mirip penyihir jahat!"
“Makanya lari yang cepet para kurcaci jelek! Kalian jangan sampai kalah sama Kakak yang kata kalian tua dan mirip penyihir jahat ini!” balas Syakira sambil menyeringai, mengejar Elio yang hampir terpeleset karena kesandung bantal.
Di dapur, Santi tersenyum, sambil mengaduk sayur lodeh di panci. “Hati-hati, kalian jangan sampai jatuh dan jangan sampai berantakin rumah!" teriaknya dengan suara lantang.
Sementara di ruang tamu, Dirga duduk santai di kursi dengan laptop di pangkuan. Sesekali dia menoleh ke arah anak-anak itu dan terkekeh pelan, “Energi anak-anak enggak ada habisnya. Dari tadi main terus."
Hingga tiba-tiba, terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman, lalu disusul dengan suara pintu mobil yang ditutup terdengar nyaring dari luar. Elia dan Elio berhenti berlari, Dirga mengangkat kepala dari laptopnya, dan Syakira refleks merapikan rambutnya yang acak-acakan karena bermain, mereka semua menoleh ke arah pintu. Terlihatlah sosok pria yang sudah sangat dikenali semua orang di rumah itu.
"Itu ... beneran Abang Angkasa?" gumam Syakira tanpa suara.
Dengan kemeja putih yang dilipat di siku dan celana hitam rapi, dia berjalan masuk sambil membawa dua kantong besar berwarna merah cerah. Di balik kantong itu, terlihat logo toko mainan ternama di kota itu. Ekspresi pria itu tampak lembut, tapi tetap dengan karisma khasnya yang selalu membuat jantung Syakira berdetak lebih cepat.
“Elia! Elio! Lihat siapa yang datang!” seru Dirga sambil tersenyum karena tak menyangka anak laki-lakinya akan datang lagi ke rumah.
Kedua anak itu langsung berlari menghampiri Angkasa dan berseru kompak, “Abang Angkasa!”
Angkasa mengangkat kedua kantong yang dibawanya tinggi-tinggi sambil tersenyum. “Aku dengar kalian kemarin dapat nilai bagus dari Bu Guru? Ini hadiah buat anak-anak pintar.”
Elia dan Elio bersorak girang, memeluk kaki Angkasa bergantian. Sementara itu, di ambang pintu, Syakira berdiri terpaku. d**a gadis itubterasa sesak saat tatapannya bertemu dengan tatapan Angkasa. Hanya sejenak. Tapi cukup untuk membuat suasana hati Syakira kembali bergejolak. Dia tak tahu apa yang membuat dia seperti itu, tapi Syakira tahu, kedatangan Angkasa malam ini bukan sekadar membawa mainan.
"Abang ayo masuk!" ajak Elia menggandeng tangan Angkasa.
"Iya, Abang. Ayo kita masuk! Aku udah enggak sabar pengen mainin mainanku," imbuh Elio, dia tampak girang menarik tangan Angkasa.
“Baiklah, baiklah, pelan-pelan dong nariknya,” ujar Angkasa tersenyum sambil membiarkan dua adik kecilnya menggiringnya masuk ke dalam rumah.
Suasana ruang tamu langsung berubah semarak. Elia dan Elio sibuk membuka kantong mainan, mata mereka berbinar penuh semangat. Dirga mengangguk pelan ke arah Angkasa, menyambut dengan tatapan bangga dan hangat. Sementara itu, dari dapur, Santi keluar dengan celemek di pinggang, menyeka tangan dengan handuk kecil.
“Angkasa? Wah, kamu datang lagi,” ucap Santi dengan senyum ramah. “Udah makan belum, Nak? Ini Mama masak ayam goreng sama sayur lodeh.”
Angkasa memaksakan dirinya untuk tersenyum karena di hadapannya ada Elia dan Elio. “Makasih, tapi saya nggak lapar, Tante. Cuma mampir sebentar kasih mainan buat anak-anak,” jawab Angkasa pelan, suaranya datar, tak ramah tapi juga tak terlalu kasar.
Santi sempat terdiam, senyumnya menegang sejenak sebelum akhirnya dia berkata lagi, “Tapi kamu pasti belum makan malam. Ayolah Angkasa, makan temani Elia dan Elio makan malam. Mereka pasti senang dan semakin lahap makan kalau kamu duduk di antara mereka di meja makan seperi kemarin."
Elia yang sedang sibuk membongkar kotak mainan langsung menghentikan gerakannya begitu mendengar perkataan mamanya. Mata gadis kecil itu langsung berbinar, lalu memandang Angkasa dengan ekspresi penuh harap. “Iya, Bang Angkasa! Makan di sini aja, ya?” pintanya polos.
Elio pun melakukan hal yang sama dan berkata, “Iya, pokoknya Abang harus temenin kita makan malam! Abang nanti duduk di tengah-tengah di antara kita, terus kita nanti lomba makan ayam goreng! Yang kalah pijetin Kak Syakila!"
Syakira yang sedang duduk di samping Elia tersentak. "Eh, kok hukumannya itu? Hukuman itu tuh hanya berlaku buat kalian!"
Elia cekikikan sambil menatap kakaknya, “Mulai sekarang hukuman itu berlaku untuk Abang juga dong, Kak. Dia kan juga saudara kita, Kak Syakila enggak boleh pilih kasih! ”
Elio mengangguk setuju. “Iya, harus gitu. Badan Kak Syakila kan besar, gendut lagi, kita itu capek kalau dihukum pijetin Kakak."
Syakira mendesah sambil memutar mata, tapi tak kuasa menahan senyum. “Aduh, kalian ini! Tadi ngatain Kakak;penyihir jahat tua, sekarang ngatain Kakak gendut! Padahal Kakak kan cantik, masih muda plus langsing juga, dasar para kurcaci jelek!"
Angkasa yang menyaksikan semua itu hanya menggeleng pelan. Senyum di wajahnya tak bisa membohongi jika dia mulai merasa nyaman tinggal di rumah ini. Suasana hangat keluarga yang sudah lama tidak dia rasakan, kembali mengisi sudut-sudut hatinya yang selama ini kaku oleh luka dan kemarahan.
Dirga ikut tersenyum sambil melihat ke arah Angkasa, pria paruh baya itu seperti ingin memastikan apakah anak sulungnya yang dia rindukan itu benar-benar bersedia membuka sedikit ruang di hatinya lagi untuk rumah ini. Tatapan matanya tajam, tapi terlihat penuh harap, seakan mencoba membaca hati Angkasa yang selama ini menjauh, mengunci diri dalam benteng kesendirian dan dinginnya luka masa lalu.
Tak berselang lama, dari arah dapur terdengar suara Santi memanggil, “Yuk, kita makan malam dulu! Mainnya diterusin nanti aja, ya!”
Elio dan Elia langsung berlarian ke meja makan. “Abang duduk sini!” seru mereka kompak, menunjuk kursi di antara mereka.
Angkasa sempat melirik Syakira sejenak sebelum akhirnya menarik napas dan mengangguk. “Iya, Abang duduk di sana, tapi ingat, kalian harus makan yang banyak malam ini, oke!"
"Oke, Abang," balas Elio dan Elia kompak.
Setelah makan malam selesai, Elia dan Elio kembali menarik Angkasa ke ruang tengah, memaksa sang kakak untuk ikut main balok susun dan boneka-boneka kecil mereka. Angkasa menuruti, duduk bersila di karpet sambil menyusun benteng dari balok kayu, dan pura-pura menjadi monster penyerang.
Sementara itu, Syakira memilih masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Suara tawa Elia, Elio dan Angkasa yang terdengar samar dari bawah membuatnya tersenyum dan hatinya terasa hangat. Gadis itu berjalan menuju meja belajar, menarik kursi, dan membuka laptop.
Sekilas Syakira menatap bayangannya sendiri di layar yang masih hitam, lalu menghela napas dalam. “Fokus! Ayo, selesaikan tugasmu hari ini!" gumamnya pelan menyemangati diri sendiri.
Syakira membuka dokumen tugas makalah tentang teori pembangunan ekonomi, menata ulang catatan, dan mulai mengetik. Waktu berjalan pelan. Jari-jarinya sesekali berhenti saat pikirannya melayang. Namun, setiap kali itu terjadi, Syakira buru-buru menepuk pipinya sendiri dan kembali menunduk. Hingga akhirnya dia bisa bisa menekan tombol save dan mengunggah file tugasnya ke portal kuliah.
Dengan lega, Syakira meregangkan tubuh, lehernya terasa kaku, dan matanya mulai berat. "Yes, udah beres,” bisiknya sambil menutup laptop.
Syakira berdiri, berjalan ke kamar mandi untuk sikat gigi dan membersihkan diri, tak lupa dia mematikan lampu, memakai skincare malamnya, lalu merebahkan diri di atas ranjang kesayangan. Dia mengatur suhu AC, kemudian menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, hingga akhirnya dia bisa memejamkan mata dengan nyaman.
Baru beberapa menit Syakira tertidur, dirinya dikejutkan dengan sentuhan hangat seseorang yang menyusup di bawah selimut. Seketika dia membuka mata dan menahan napas. Orang itu menggerayangi dan menciumi area paha, pinggang perlahan naik ke perut dan dadanya.
Hingga akhirnya ciuman itu berhenti di telinga, lalu terdengar bisikan dengan suara berat dan serak yang langsung membuat jantung Syakira melonjak keras. “Bagaimana kalau kita lanjut ronde kedua sekarang, Adekku yang manis?”