"Gimana aku bisa lupa? Orang tiap hari aku ketemu sama Abang di kampus! Kenapa sih dia harus jadi dosenku" batin Syakira merasa kesal.
Mata Syakira menatap lurus ke arah Angkasa yang berdiri tegap di depan kelas. Pria itu sedang menjelaskan materi ekonomi bisnis dengan suara tenang dengan aura karismatik. Tapi otak Syakira tak mampu mencerna materi itu. Wajah tampan dan suara Angkasa malah membuat jantung gadis itu terus berdetak tak karuan karena mengingat kegiatan panas mereka tadi pagi.
"Kenapa otak dan jantungku berkhianat sih! Aku aja masih deg-degan dan berpikiran m***m tiap lihat Abang? Padahal tadi kata-kata Abang kejam banget dan bikin hati aku sakit!" lanjut Syakira di dalam hati sambil menghela napas panjang.
Syakira menggigit bibir bawah, mencoba fokus pada catatan di depannya, tapi pikiran gadis itu justru kembali memutar kejadian intim yang di lakukan bersama Angkasa. Kejadian saat tangan dan lidah Angkasa memainkan miliknya dan suara Angkasa yang mengerang kenikmatan saat milik Angkasa berada di mulutnya.
"Sial!" Syakira memukul keningnya pelan dengan bolpoin. "Kenapa aku jadi m***m begini, sih?"
Sementara di depan kelas, tanpa disadari oleh Syakira, Angkasa sesekali melirik ke arah gadis itu tanpa terlihat jelas oleh mahasiswa lain. Dia memperhatikan bagaimana Syakira lebih banyak menunduk, menggenggam pulpen tapi tak menulis sepatah kata pun. Wajahnya terlihat memerah karena tersipu malu, pipinya seolah diselimuti semburat merah muda yang sangat dikenalnya.
Angkasa meneguk ludah. Ada rasa bersalah yang sulit ia telan. “Kenapa tadi pagi dia harus datang sih? Mana sekarang dia terlihat manis banget lagi! Sial, sepertinya aku jadi kurang konsen mengajar para mahasiswa hari ini!" batinnya merasa gelisah.
"Fokus, Angkasa!" batinnya mengingatkan diri sendiri, dia menarik napas panjang, lalu kembali menatap layar presentasi.
"Next slide kita bahas marginal cost dan average cost. Ada yang bisa bantu saya bedain dua konsep ini?" tanya Angkasa menatap ke sekeliling kelas.
Tak ada yang mengangkat tangan.
"Baik, kalau tidak ada, saya lanjut, ya." Angkasa kembali menatap layar lalu menekan tombol presentasi dan menjelaskan materi.
Begitu kelas usai, Syakira buru-buru merapikan catatannya dan keluar kelas. Ia ingin cepat-cepat pulang, menjauh dari aura Angkasa yang selalu membuat hatinya tidak karuan.
Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil namanya. “Syakira!” Suara bariton yang ramah itu datang dari arah samping.
Syakira menoleh dan tersenyum begitu melihat Renaldi—ketua BEM yang belakangan ini jadi lebih sering menghubunginya. Pria muda itu berwajah tampan, bertubuh tinggi, berwibawa, dan punya selera humor yang pas, Renaldi adalah sosok yang mudah membuat orang nyaman dan laki-laki idaman para mahasiswi yang kuliah di kampus itu.
“Apa lo lagi buru-buru?” tanya Renaldi dengan senyuman manisnya.
“Enggak juga, gue cuma pengen pulang cepat aja hari ini," jawab Syakira, sedikit gugup.
“Lo jangan pulang cepet, deh! Mendingan lo temenin gue bentar aja ke ruang BEM! Gue mau bahas rencana acara seminar minggu depan. Cuma lima menit, janji. Lo mau kan?" tanya Renaldi memastikan.
Syakira mengangguk. “Oke, tapi jangan ngaret, ya! Soalnya gue lagi lapar banget.”
"Kasihan banget lo bisa juga kelaparan." Renaldi terkekeh pelan. “Tenang aja, habis ini lo, gue traktir sampai kekenyangan."
"Ya bisa lah, Re!" Syakira mendengus kesal. "Gue kan manusia, dipikiran lo emangnya gue robot yang kagak bisa makan dan kagak bisa berak?"
Renaldi tertawa terbahak-bahak, itulah yang membuatnya tertarik pada sosok Syakira. “Gokil, lo ya! Gue suka banget liat cewek yang apa adanya gini. Enggak dibuat-buat, enggak sok kalem, pokoknya jadi diri sendiri lah di depan gue.”
Syakira meringis. “Lah, emangnya banyak cewek yang enggak jadi diri sendiri di depan lo?”
“Banyak banget,” jawab Renaldi menganggukkan kepala. “Dan jujur aja gue risih."
"Ya sih, gue percaya. Lo kan cowok favorit di kampus ini. Adek kelas terutama, kalau mereka udah lihat lo, pasti mata mereka berbinar-binar."
"Dan sejak jadi ketua BEM makin banyak adek kelas yang chat gue enggak jelas gitu. Yah ... semacam caper mungkin ya." Angkasa menatap Syakira. "Serius gue risih, rasanya pengen gue blokir aja nomor-nomor mereka, tapi kan enggak sopan juga."
Syakira tertawa geli. “Bilangnga risih ke gue, tapi jangan-nangan lo nanggapin mereka semua dan lo pacarin mereka semua. Dasar cowok playboy!"
Renaldi pura-pura terkejut. “Gue, kayak gitu? Mana mungkin, Syakira! Gue itu tipe cowok setia. Sekali gue jatuh cinta sama satu cewek, gue bakal berjuang buat dapetin dia. Yah, seperti yang sedang gue lakuin akhir-akhir ini. Selain sibuk urusan BEM gue juga lagi sibuk ngedeketin salah satu cewek di kampus kita.”
Syakira mengangkat kedua alisnya. “Wow, siapa tuh cewek? Apa gue kenal?"
“Masa sih enggak kelihatan?” Renaldi menghentikan langkahnya, nadanya berubah sedikit lebih dalam. “Udah beberapa bulan ini gue sering hubungin lo, gue suka nyari perhatian sama lo. Harusnya lo sadar, Syakira! Orang itu elo."
Langkah Syakira ikut terhenti, dia menoleh ke belakang, benar-benar tidak menyangka jika Renaldi akan menyatakan cinta padanya. “Rey, gue ... sebenarnya la—"
"Stop, Ra! Lo enggak usah jawab perasaan cinta gue sekarang. Gue tahu, kalau lo pasti lagi mikirin banyak hal,” ujar Renaldi cepat, mencoba membuat suasana agar tidak terasa canggung. “Gue cuma pengen lo tahu kalau gue serius cinta sama lo. Dan ... kalau lo butuh bahu buat bersandar, ingatlah ada gue yang bersedia.”
Syakira tersenyum, hatinya terasa menghangat, tapi dia juga merasa bingung. Baru beberapa jam yang lalu dia menangis karena Angkasa, tapi kini ada seorang pria tampan lain yang datang menyatakan cinta dan membawa kenyamanan.
Namun, dari ujung koridor, siapa sangka ada sepasang mata yang sedang mengawasi mereka. Tatapan itu terasa dingin dan penuh amarah. Sosok Angkasa berdiri diam dengan tubuh tegak, tangan mengepal dan rahang mengeras. Dadanya naik turun perlahan, seperti menahan sesuatu yang tidak tahu itu apa—sesuatu yang bahkan dirinya sendiri sulit kenali, yaitu rasa cemburu dan juga rasa takut kehilangan.
Pandangan Angkasa terus terpaku pada sosok Renaldi yang tampak begitu santai melangkah di samping Syakira, bahkan sesekali mendekat terlalu akrab menurut penilaiannya. Bahkan tangan Renaldi tadi hampir saja menyentuh punggung Syakira. Ada bagian dari dirinya yang ingin maju, menarik Syakira menjauh, dan berteriak bahwa tidak ada satu pun pria yang berhak memandang Syakira seperti itu, karena Syakira adalah miliknya.
Tapi sisi logika Angkasa menahan dan nertawakannya dirinya sendiri. "Padalah kamu sendiri tadi yang menghina dia dan membiarkan dia pergi dengan kata-kata pedasmu. Tapi sekarang ... kenapa kamu sewot pas ada pria lain yang mau mendekati dia seharusnya kamu senang, Angkasa! Justru bagus kan dia enggak akan godain kamu lagi!"