Dipta datang hampir setiap dua hari sekali, membawa kantong kertas berisi makanan dari warung favorit Lara. Kadang isinya nasi rames hangat, kadang sop ayam bening, kadang hanya sekotak kue cucur yang sudah lama tak disentuh Lara sejak peristiwa itu. Hari ini, ia datang dengan wajahnya tampak letih, tapi senyum itu selalu berusaha ia paksakan. “Aku bawain sayur asem kesukaan kamu,” ujarnya, meletakkan kantong kertas di meja. Lara duduk di sofa tanpa banyak reaksi. “Makasih ya, Mas, jadi ngerepotin gini aku.” “Aku titip buat Bu Ratih juga.” Dipta menoleh ke dapur sebentar, lalu menengok kembali ke arah Lara. “Kamu... udah makan?” Lara menggeleng pelan. Dipta duduk di kursi seberang. Tak terlalu dekat, tapi cukup untuk melihat bahwa mata Lara masih sembap walau sudah berhari-hari. “

