Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana yang lampunya masih menyala remang. Dipta mematikan mesin dan melirik ke arah kursi penumpang. Lara duduk diam. Tangan tertaut di pangkuan, pandangan menerawang ke luar jendela, menyusuri cahaya lampu jalan yang redup dan bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Perjalanan barusan dilalui dalam diam panjang. Hanya suara hujan sisa yang membasahi aspal dan deru AC mobil yang mengisi ruang. Tapi ada momen-momen kecil di tengah keheningan itu yang tidak benar-benar kosong. Beberapa menit setelah mereka meninggalkan tempat Lara ditemukan, Dipta sempat membuka suara, pelan. “Kamu udah makan?” Pertanyaan sederhana, tapi cukup membuat Lara mengalihkan pandangan. “Belum,” jawabnya pendek. Suaranya lemah, nyaris tenggelam. Dipta

