Sore itu, Lara berdiri di depan cermin butik kebaya, mengenakan kain lembut berwarna salem muda. Potongannya pas, lehernya tinggi, namun tetap feminin. Perutnya masih kecil, nyaris tak terlihat, tapi rasa mual sudah jadi tamu harian yang tak tahu diri. Hari ini memang jadwal mereka untuk membuat pakaian untuk akad. “Aku... bisa minta waktu sebentar?” gumam Lara pelan. Wajahnya mendadak pucat, seketika seperti kehilangan warna. Gerakannya melambat, dan ia buru-buru menunduk, menutup mulut dengan telapak tangan, bukan dramatis, tapi refleks. Tubuhnya sedikit membungkuk ke depan, seperti menahan sesuatu yang bergolak dari lambung. Dipta langsung sigap. Tangannya meraih tas kecil di kursi samping, mengeluarkan botol air mineral, lalu mengulurkan tisu dari kantong celana dengan sa