Lara terbangun di ranjang yang sama. Tempat yang semalam menjadi saksi betapa murahnya tubuhnya dan betapa mahalnya kuasa pria itu atas dirinya. Kamar itu sunyi. Tirai jendela masih tertutup rapat, hanya menyisakan garis tipis cahaya pagi yang memotong lantai marmer. Tak ada suara. Tak ada gerak. Hanya detak jantungnya yang terdengar lambat namun berat. Tangannya tergeletak kaku di sisi tubuh, dan ketika ia mencoba menggerakkan pinggul, rasa nyeri samar menjalar dari pahanya. Perih yang membungkam. Yang menyatakan dengan tenang bahwa semalam bukan mimpi. Bahwa semuanya nyata. Bahwa ia benar-benar tak berdaya. Lara tak menangis. Bukan karena kuat. Tapi karena air matanya sudah habis. Ia hanya berbaring dalam diam, memandangi langit-langit yang polos, tanpa hiasan seperti hidupnya sekar