Bab 13. Kompensasi

1357 Kata
Ethan duduk bermalas-malasan di depan sosok Papanya yang memasang raut wajah geram itu. Penampilan Ethan masih dengan kemeja kusut yang tadi sempat diremas Nindy. Ruangannya pun masih berantakan karena semua isi meja di lempar semua ke lantai. "Kamu masih suka bermain-main, Ethan?" Harris—Papanya Ethan bertanya penuh penekanan. Melihat kondisi Ethan saat ini jelas bisa menebak apa yang telah putranya itu lakukan. "Kenapa Papa kemari?" Bukannya menanggapi pertanyaan sebelumnya Ethan justru bertanya hal lainnya. Harris mendesis jengkel melihat sikap Ethan ini. "Papa nggak mau basa-basi. Masa jabatan Papa masih 3 tahun, selama itu jangan macam-macam. Jangan kamu pikir Papa tidak tahu, kamu sudah mendaftar cerai secara diam-diam tanpa sepengatahuan keluarga." Ethan terkekeh sinis, nyaris seperti tawa yang menjengkelkan. Ia mengambil rokoknya lalu menyulut dengan tenang. "Papa nggak niat pensiun apa? Kasihan banget udah tua masih mikir politik." "Papa akan pensiun setelah kamu mau maju ke politik. Udah ada jalan mudah, kenapa harus menolak. Hentikan aja bisnis nggak jelas ini," sergah Harris. "Pa, aku udah pesenin makam yang paling mahal di San Diego Hills. Papa kalau mau pindah tidur kabarin aja, mumpung uang Papa masih banyak," desis Ethan. "Kurang ajar!" Harris yang mendengar itu tanpa ragu memukul pipi Ethan hingga berdarah. "Anak macam apa kamu, nyumpahin Papa cepet mati?" hardiknya penuh emosi. Ethan tertawa dengan wajah mengerikan, ia mengusap sudut bibirnya yang semakin perih saja. "Papa nggak sadar aku kayak gini niru siapa? Papa! Puluhan tahun sibuk membuat bisnis kotor yang—" Plak Harris kembali menampar pipi Ethan lebih keras dari sebelumnya. Pria itu terlihat sekali sangat murka akan ucapan Ethan. "Anak setan! Seharusnya kamu yang ikut Mamamu mati. Sekolah tinggi-tinggi nggak ada gunanya kamu ini. Mau jadi apa yang kurang ajar sama Papa sendiri, ha?" Ethan lagi-lagi hanya tertawa, ia melirik Papanya dengan tajam. "Aku sudah memberikan kedudukan untuk Papa selama 7 tahun. Mulai sekarang jangan mengaturku lagi." "Bertahan 3 tahun lagi, Ethan!" "Mati ajalah, Pa." Kali ini bukan tamparan sekali saja yang Ethan dapatkan, tapi berkali-kali sampai pria itu itu terhempas di sofa. Ethan tak sedikit pun membalasnya, sudah terlalu terbiasa dengan hal seperti ini sampai begitu muak. "Kalau kamu emang mau Papa berhenti, kamu yang harus masuk ke Politik. Ayah mertua kamu siap ngasih kursi kalau kamu setuju," ujar Harris. Ethan berdecih sinis, mengusap hidungnya yang ikut berdarah. "Cukup sekali saja aku menuruti ambisi Papa, tidak untuk sekarang." Ethan menjawab dengan penuh ketegasan. Tak peduli Papanya itu marah ia segera pergi begitu saja. *** Selama 2 hari Davin dirawat akhirnya pria itu sudah diizinkan pulang. Nindy terpaksa mengambil cuti karena Elang tidak ada yang menjaga di rumah. Kini wanita itu tengah menunggu Dokter melepaskan infus di tangan Davin barulah mereka akan pulang ke rumah. "Dav, lain kali kalau orang kemarin datengin kamu lagi, bilang ke Kakak aja. Nggak usah diladenin," kata Nindy masih jengkel jika mengingat Ethan. "Kakak kenal sama orangnya?" "Bukan kenal lagi, aku sangat mengenalnya, Dav. Tapi sekarang mereka sudah asing." Nindy menjawab dalam hatinya. Ia sibuk memasukkan barang-barang yang sebelumnya ia gunakan selama di puskesmas. "Orangnya dateng, Kak." Davin tiba-tiba menarik tangan Nindy cepat-cepat saat melihat sosok Ethan yang datang dengan ditemani Antoni. Nindy menoleh dan terperanjat saat melihat kedatangan Ethan. Pria gila itu untuk apalagi datang kesini? Pikirnya. Nindy buru-buru memasang badan di depan Davin seolah ingin melindunginya. Masa bodoh tubuhnya yang kecil, ia siap melakukan apa saja demi adiknya. Ethan datang dengan gaya angkuh seperti biasa. Sebelah alisnya terangkat tatkala melihat Nindy yang menatapnya dengan tatapan sangat sinis itu. Ethan rasanya ingin tertawa karena wajah wanita itu sangat menggemaskan. Pandangan Ethan beralih ke arah Davin yang memandangnya takut-takut. Davin masih berumur 20 tahun jadi masih belum punya keberanian besar untuk melawan dengan keras, apalagi perangai Ethan sudah sangat mengintimidasi dan kuat. Davin sendiri yang sudah pernah merasakan kemarahannya. "Bagaimana keadaan Adikmu?" Ethan bertanya. "Seharusnya kau lebih tahu hasil dari perbuatan kejimu, Tuan Ethan. Untuk apa kau kemari?" decih Nindy melirik Ethan sinis, namun ia kaget saat melihat hidung dan bibir pria itu terluka. Meski tak terlalu kentara, Nindy masih melihatnya. "Seingatku, aku tidak memukulnya separah itu kemarin," batin Nindy. Ethan memasukan kedua sakunya di dalam celana. "Aku kesini bukan ingin meminta maaf karena aku memang tidak tahu kalau dia adikmu. Bukan berarti dia juga benar, meskipun dia adikmu, dia tidak boleh memegangmu sembarangan," ujar Ethan sembari memberikan lirikan tajam pada tangan Davin yang memegang lengan Nindy. Davin menyadari itu, ia melepaskan lengan Nindy takut-takut. "Aku baru bertemu pria segila dirimu, Ethan. Kau sudah tidak berhak ikut campur urusanku!" sergah Nindy menahan dirinya untuk tidak memaki-maki karena saat ini dirinya di rumah sakit. Ethan mendengus kecil, ia menarik tangan Nindy menjauh dari Davin. Pria itu menatap Nindy lebih tajam dari sebelumnya. "Jangan menguji kesabaranku, Nindy. Kau sendiri yang sudah merasakan kemarahanku bagaimana," ucap Ethan lambat-lambat penuh peringatan. Nindy berdecih seraya menepis tangan Ethan kasar. "Aku tidak takut padamu!" Ethan menarik napas panjang. Setelah adegan buka baju kemarin, Ethan ingin sedikit menurunkan egonya. Baiklah, kali ini mungkin dia harus tenang terlebih dulu. Meski hati terbakar luar biasa ia membiarkan Nindy dipegang oleh Davin. "Sebagai biaya kompensasi karena sudah membuatmu terluka, aku akan membiarkan apa pun yang kau minta. Katakan, kau ingin apa? iPhone keluaran terbaru?" Ethan mengangkat dagunya, menunjuk Davin. Nindy yang mendengar itu semakin marah. "Kau pikir semua masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan uang?" "Uang memang tidak menyelesaikan masalah, tapi semua masalah membutuhkan uang. Sudahlah, katakan saja apa adikmu ingin apa. Aku kemarin hanya salah sasaran, itu pun gara-gara Antoni," kata Ethan dengan sebalnya melirik Antoni yang salah tingkah. "Terima kasih atas basa-basinya, kami masih bisa hidup tanpa uang dari orang kaya seperti kalian. Lebih baik Tuan Ethan pergi, untuk apa seseorang yang punya kedudukan tinggi seperti Anda datang ke puskesmas rendahan seperti ini?" sindir Nindy halus tapi menyakitkan. Ethan tak merasa bersalah sedikit pun, beranjak saja tidak. Ia ikut-ikutan menunggu Dokter yang menangani Davin. Dia diam saja namun tatapan matanya seperti menguliti Davin, membuat pria muda itu salah tingkah sendiri. "Kak, apa dokternya masih lama?" Belum 30 menit berada di sana jantung Davin sudah tak aman karena sorot mata Ethan seperti ingin membelah tubuhnya saja. "Mungkin sebentar lagi, kau butuh apa?" tanya Nindy. "Tidak, pengen pulang aja." Nindy menyadari apa yang membuat Adiknya itu sangat ketakutan. Ia mendesis jengkel. Tak bisa mengabaikan keberadaan Ethan yang seperti teror saja di belakangnya. Dengan sangat terpaksa Nindy menarik tangan pria itu untuk dibawa keluar ruangan. Ethan tersenyum tipis, ia menurut seraya memandang tangannya yang dipegang Nindy. Hanya seperti itu saja ia sudah sangat senang. Memang yang namanya cinta itu membuat orang gila. Begitu sampai di depan ruangan Nindy menghempaskan tangan Ethan. Begitu sengit wajahnya berharap Ethan sadar kalau dirinya sangat muak dengan pria ini. "Pergi dari sini. Tolong jangan menambah masalahku," kata Nindy. "Menambah masalah?" Ethan menundukkan wajahnya hingga hidungnya nyaris menyentuh pipi Nindy namun masih berjarak. "Aku justru ingin menyudahi masalah antara kita, Nindy." Nindy berdecih dengan ekspresi yang sangat geram. Segera menjauhkan tubuh Ethan dengan kasar. "Terserah apa yang ingin kau lakukan, aku peringatan baik-baik. Jangan berani-beraninya menyentuh adikku!" ancam Nindy menujuk Ethan dengan telunjuknya. Ethan memasang wajah pura-pura takut, memegang tangan Nindy lalu menciumnya. "Peringatanmu sudah aku terima," sahutnya tanpa rasa berdosa. Nindy semakin geram pastinya, buru-buru menarik tangannya dari Ethan. Pria itu memang sangat gila sekali. Ia tak mengatakan apa pun lagi, langsung pergi dengan mendorong bahu Ethan kuat. Ethan sempat menyentuh rambut Nindy yang perlahan menjauh. Semerbak harumnya saja membuatnya sangat gila. "b******k, bagaimana aku bisa berhenti sekarang," makinya terkekeh sendiri. * Nindy hendak kembali ke kamar Adiknya menunggu Dokter. Namun ponselnya berdering sehingga ia mengurungkan niatnya sejenak. Ia melihat nomor wali kelas Elang di sana. Memandangnya dengan kekhawatiran yang kentara. Dengan gugup Nindy menerima panggilan itu dan mendengarkan rentetan kalimat yang membuatnya sangat terkejut. "Saya akan ke sekolah sekarang," ucap Nindy buru-buru memasukan ponselnya ke dalam tas. Ia masuk ke dalam ruangan Davin dulu, memberikan kabar apa yang terjadi dan segera pergi dengan langkah tergesa. Nindy sangat panik sekali, sebias mungkin secepatnya sampai di sekolah putranya. Karena panik dan terburu-buru Nindy tidak melihat Ethan yang masih ada di sana. Wanita itu berjalan melewatinya begitu saja membuat Ethan keheranan. "Kenapa dengan Nindy?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN