Bab 10. Gejolak Rasa

1119 Kata
Ethan meremas tangannya sendiri dengan penuh emosi. Sejak tadi dirinya masih belum kembali ke rumah setelah apa yang dilakukannya pada Nindy. Ia hanya diam terpaku di taman rumah sakit dengan perasaan berkecamuk tak karuan. "Memangnya apa yang saya lakukan? Saya hanya diam dan bekerja, kenapa saya bisa menganggu Anda, Tuan Ethan?" Ethan terus teringat pertanyaan Nindy yang sampai sekarang tak kunjung menemukan jawaban. Ethan juga tidak tahu kenapa bisa terus memikirkan Nindy bahkan selama 7 tahun ini wanita itu tidak pernah keluar sedikit pun dari otaknya. Namun, Ethan terus menyangkal jika ia masih peduli dengan wanita itu. Mencoba menyingkirkan Nindy dari hidupnya jauh-jauh. Sayangnya Nindy justru kembali dengan sikap yang begitu berbeda. Ethan sampai tidak percaya Nindy-nya bisa berubah seperti itu. "Nindy-nya?" Ethan rasanya ingin tertawa karena gejolak perasaan gila itu kembali hadir di hatinya. Sebuah perasaan yang harus ia buang jauh-jauh karena perasaan itu hanya akan membuat Ethan lemah. Ethan tidak mau dikendalikan dengan seorang wanita, tidak akan pernah! "Memang sudah seharusnya aku tidak memikirkan wanita itu lagi. s**t Nindya Putri ...." Menyebut namanya dengan sangat emosi sampai Ethan tak sadar meremas sebuah bunga mawar merah hingga tangannya berdarah-darah. Ethan tersenyum sinis, melihat bunga yang semula bagus menjadi hancur tak karuan. Seperti saat Ethan menghancurkan Nindy 7 tahun lalu. Ethan menarik napas panjang mengurangi perasaan kacau di hatinya. Penampilannya kacau dengan kemeja yang kancingnya lepas. Dadanya penuh cakaran dan tangan penuh darah. Ethan sangat berantakan sekali sekarang, padahal Ethan orang yang sangat suka dengan kebersihan. Ethan terus menyangkal perasaannya jika dirinya kembali tertarik dengan wanita itu. Atau memang sebenarnya Nindy sudah menjeratnya sejak dulu? Ethan tidak ingin mengakuinya. "Aku hanya merasa tak rela dia dimiliki orang lain, tidak lebih dari itu!" *** Ethan nyatanya tidak bisa menghilangkan Nindy barang sejenak pun dalam otaknya. Sudah berhari-hari sejak kejadian di rumah sakit Ethan terus kepikiran tentang kata-kata Nindy malam itu. "Jika memang iya, apakah Tuan Ethan ingin menjadikan saya wanita simpanan lagi? Boleh, saya akan mengatur jadwal dengan klien saya jika Anda berani membayar lebih mahal." "Kenapa Tuan Ethan bertanya seperti itu? Tenang saja, pelayanan saya pasti tetap yang terbaik. Mau dimulai sekarang, Tuan?" Kata-kata itu terus memenuhi pikiran Ethan hingga rasanya ia ingin gila. Dalam benaknya menebak pria mana saja yang telah menjamah tubuh Nindy? Apa Nindy memberikan service panas yang seperti wanita itu lakukan padanya dulu? Membayangkan itu semua membuat Ethan terus emosi. Pekerjaan kacau sampai semua orang kena amukannya. "Tu-an, data ini sudah saya input di—" "Maksudmu aku yang salah mengeceknya begitu? b******k! Aku bilang input data itu kembali!" hardik Ethan semakin murka saat seorang karyawan meragukan analisisnya. "Dalam waktu 2 jam semua itu harus selesai, jika tidak aku cabut nyawa kalian!" usirnya dengan suara menggelegar seperti singa yang mengaum. Antoni sampai takut-takut untuk mendekat. Jika mood Ethan tidak bagus memang semua orang pasti akan kena imbasnya. Ethan mengatur napasnya seraya menghempaskan tubuhnya di kursi. Kali ini emosinya seperti dipermainkan oleh Nindy meski wanita itu tidak melakukan apa pun. "Tuan," panggil Antoni. Ethan hanya melirik tanpa ada niat untuk menyahut namun ia mendengarkan apa yang Antoni katakan. "Mata-mata kami baru saja mengirimkan foto Nona Nindy. Beliau ternyata memang tinggal bersama pria yang—" "b******k!" Ethan mengumpat penuh amarah begitu mendengar kalimat yang Antoni katakan. Tangannya bergerak mengambil tablet yang diberikan oleh Antoni. Membuka foto yang ada di tablet itu dengan mata yang dihiasi bola api. Banyak sekali gambar yang diambil. Nindy dan pria muda itu memang tinggal di Apartemen yang sama. Amarah Ethan tak terkendalikan sekarang ini. Semakin tak rela jika ada yang menyentuh Nindy selain dirinya. "Tuan, pria ini—" "Dimana dia sekarang?" sergah Ethan mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Dia berkuliah di Universitas negeri, baru mau masuk semester ini, Tuan." Ethan tersenyum sinis mendengarnya. "Bukan hanya menurunkan selera saja, wanita itu benar-benar banting harga untuk pria rendahan seperti itu," decih Ethan. "Tuan, pria itu—" "Hubungi Universitas itu, katakan untuk jangan sampai menerima pria yang bersama Nindy. s**t! Siapa pun yang menyentuh wanitaku, pasti akan aku hancurkan dengan kedua tanganku sendiri," ujar Ethan dengan wajah bengisnya. "Cari pria b******k itu sekarang!" * Davin baru saja menjemput Elang dari sekolah. Ia belum punya kegiatan lain sejauh ini karena memang belum ada pengumuman resmi dari Universitas-nya. Setelah membatu anak itu makan Davin berniat turun ke bawah membuang sampah. Namun, langkahnya tiba-tiba dihentikan oleh sosok pria berbadan tinggi tegap di bawah tangga. Davin uang merasa tidak punya urusan dengan orang itu segera minggir dan mencari jalan lain. "Kau yang bernama Davin?" Ethan bertanya begitu dingin sehingga membuat siapa pun yang mendengarnya merinding. "Iya, Mas. Ada apa, ya?" Davin menyahut biasa saja, toh memang tidak mengenal siapa Ethan. Ethan mengernyit jijik saat mendengar panggilan itu. Ia menarik baju Davin dengan kasar. Tubuhnya yang tinggi tegap menghimpit Davin pada tembok di belakangnya. "Mas, ada apa ini? Kalau ada masalah bisa diselesaikan baik-baik," ujar Davin bukannya takut, namun lebih ke tidak ingin mencari ribut. "Apa kau tinggal bersama Nindy?" Ethan bertanya pelan, menahan gemuruh emosi dalam hatinya. "Oh iya, saya memang tinggal bersama Kak Nindy. Apa—" Pukulan telak langsung dilesatkan oleh Ethan mendengar jawaban dari Davin. Emosinya sudah yak terkendali lagi, merasa marah sekali karena menganggap Davin dan Nindy memang menjalin hubungan sampai harus tinggal di Apartemen yang sama. "Beraninya kau! Katakan, sudah berapa kali kau menyentuh tubuhnya? s**t! b******n, akan kubunuh kau!" Ethan menarik baju Davin lebih kasar dan menghantam pria itu tanpa ampun. Davin memang tinggi tapi tenaganya tak mampu menyaingi Ethan. Beberapa kali Davin menangkis pukulan Ethan, namun sepertinya pria itu sedang diliputi amarah yang meledak-ledak. Bukan hanya memukul, Ethan juga membanting tubuh Davin hingga terkapar di lantai. Ethan menyeringai bengis, ia mendekat ke arah Davin lalu menginjak kakinya dengan keras. "ARGHHHHHHHH!" "Tanganmu perlu aku potong karena berani menyentuhnya." *** Nindy berlarian dengan air mata yang berderai. Ia baru saja mendapatkan telepon jika adiknya ditemukan dengan luka di sekujur tubuh. Saat itu ia sedang sift pagi memutuskan langsung pergi ke Puskesmas terdekat dimana Davin dirawat. Nindy begitu khawatir karena satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah Davin. Ia tidak mau jika sampai adiknya itu sampai terluka. Sesampainya di sana Nindy disambut Elang yang sudah menjerit-jerit. Anak itu digendong salah satu tetangga Apartemennya. "Ibu, Ibu Om Davin berdarah dimana-mana." Elang menangis meraung begitu Nindy pelukannya. "Elang tenang, Sayang. Bu Fifi, senarnya apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Davin?" Nindy berusaha tenang meski jantungnya berdetak sangat kencang. "Saya juga nggak lihat kejadiannya, Nin. Tadi pas mau keluar kaget lihat Davin udah tergeletak penuh luka. Saya langsung manggil yang lain buat bawa dia kesini," jelas Bu Fifi. Nindy tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ia yakin Davin bukan pria yang suka mencari rusuh. Pria itu sangat tenang, tapi siapa yang tega melakukan ini pada Davin. Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN