Malam itu, bulan menggantung rendah di langit, sinarnya menerangi balkon kecil di rumah mereka. Wirya duduk di sebuah kursi rotan sambil menatap Liona yang berdiri memandang langit. Tatapan Liona kosong, seolah pikirannya melayang jauh, mengikuti bayangan-bayangan yang hanya dia pahami. "Liona," panggil Wirya lembut. Suaranya mengalir seperti melodi malam, menenangkan. Liona menoleh, tetapi matanya tetap memancarkan kegelisahan. “Jangan terlalu dipikirkan, ya. Perkataan ayahnya Vina itu tidak perlu kamu bawa ke hati,” kata Wirya, menggeser posisi duduknya agar lebih dekat ke arah Liona. “Tidak ada gunanya untukmu.” Liona hanya mengangguk kecil, tapi sorot matanya tak mampu menyembunyikan perasaan yang mengganjal di hatinya. Ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tapi lidahnya terasa kel