Malam itu, Vina duduk di ruang tamu apartemennya yang sepi, hanya ditemani suara detik jam dinding dan bayangan kota dari jendela. Ia baru saja menyelesaikan telepon dengan Ryan ketika suara ketukan di pintu terdengar. Suara itu tak terlalu keras, tapi cukup untuk membuatnya waspada. Dengan langkah hati-hati, Vina berjalan menuju pintu. Ia mengintip melalui lubang intip. Dua sosok berdiri di luar—Liona dan Wirya. Jantung Vina seakan berhenti berdetak sesaat. Kedua orang itu, terutama Liona, membawa perasaan berat dalam hidupnya. Vina membuka pintu perlahan. Sebelum ia sempat bertanya, Liona langsung berbicara, suaranya dingin namun tegas. “Aku ingin bertemu dengan ayahmu,” ucap Liona tanpa basa-basi. Vina terdiam. Permintaan itu seperti tamparan baginya. Ia tahu momen ini akan datang,