“Pagi, Pak Wirya, Ryan,” kata Farah dengan senyum lebar, meskipun ekspresi wajahnya tetap menunjukkan sedikit ketegangan. “Kami datang untuk membahas pernikahan Vina dan Ryan, sesuai yang sudah Pak Wirya bicarakan dengan anak Anda, Ryan.” Liona, yang sejak tadi duduk dengan tenang, memberikan senyum tipis sambil memandang Farah dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia merasa sudah tahu arah percakapan itu, tentu saja Farah ingin sebuah pernikahan mewah, sebuah pesta yang bisa mengungguli pesta pernikahan yang pernah ada sebelumnya. Terlebih lagi, Farah memang dikenal sebagai wanita yang tak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. “Terima kasih sudah datang,” jawab Liona dengan suara lembut, meski ada sesuatu yang licik dalam senyumannya karena hanya dia yang tidak disapa. “Kami senang bi