Wirya berlari, tubuhnya dipenuhi rasa panik yang mendalam. Pintu rumah yang terbuat dari kayu jati itu terbuka dengan cepat, seakan tak peduli dengan suara berderaknya. Di luar, udara sore yang sejuk seolah tidak mampu meredakan kegelisahan yang melanda dirinya. Hatinya berdebar-debar, dan setiap langkahnya terasa semakin berat. Sesampainya di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di sana, Liona. Liona berdiri di tengah ruangan dengan wajah yang sedih, ekspresinya menggambarkan kepenatan yang jelas. Matanya merah, seolah sudah menangis cukup lama. Saat melihat Wirya masuk, Liona tak langsung berbicara. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke lantai, seakan enggan menyambut kedatangan suaminya. "Sayang, ada apa?" tanya Wirya dengan suara serak, mencoba menahan kekhawat