Laura membuka pintu kamar hotel dan masuk perlahan. Dia baru saja masuk, tapi sudah disambut dengan pemandangan yang menjijikan. Terlihat suaminya sedang tidur satu ranjang dengan wanita lain yang tidak dia kenali.
Agak lama Laura berdiri di sana, sampai Arkan bangun dari tidurnya melihat Laura sudah berdiri di sana, kemudian pandangan Arkan beralih di sampingnya, Dania sedang meringkuk dengan tubuh telanjangnya dibalut selimut.
Arkan langsung melompat dari tempat tidur sampai Dania ikut melenguh bangun, Arkan jadi panik dengan situasi sekarang yang ada Laura sedang menatapnya datar sedangkan Dania tersenyum puas kemenangan.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Laura. Aku bisa jelaskan." Arkan gelagapan dengan penjelasannya.
Laura tidak merespon Arkan dengan suaranya, dia lebih memilih duduk di sofa dengan wajah tidak pedulinya.
"Kamu kenapa di sini?! Bukannya aku sudah menyuruhmu pergi tadi malam?!" teriak Arkan.
"Keluar dari sini sekarang ...!" teriak Arkan menggelegar.
Laura menatap pertengkaran mereka jadi sangat malas, dirinya baru saja pulang dari rumah, tapi Arkan melakukan sesuatu yang tidak menghargai, walau pernikahan mereka dipaksakan, tapi harga diri Laura sangat tersentil.
"Bolehkah aku mandi dulu? Tubuhku terasa lengket sekali dan pakaianku ada di kamar mandi," ujar Dania.
Dania turun dari ranjangnya menampakan tubuh telanjang tidak tahu malu, berjalan ke arah kamar mandi. Sepertinya Dania ingin menunjukan kalau dia pemenang di sini.
Arkan dan Laura yang melihat tubuh telanjang Dania, langsung mengalihkan pandangannya. Setelah terdengar pintu tertutup, Arkan langsung menghampiri Laura.
"Aku bisa jelaskan, Laura. Tidak terjadi apa pun tadi malam, aku bersumpah tidak terjadi seperti yang kamu bayangkan, percaya padaku," jelas Arkan.
Laura menatap Arkan dengan datar, kemudian mengangguk pelan.
"Kamu percaya padaku, kan?" tanya Arkan lagi.
"Ya ... aku percaya," jawab Laura.
Padahal Laura sudah mengatakan kalau dia percaya, tapi Arkan tidak puas dengan jawaban yang Laura berikan. Arkan bisa melihat raut wajah Laura yang tidak menunjukkan kepercayaan terhadapnya, itulah yang membuat dia tidak puas.
"Aku bersumpah, Laura!" tegas Arkan.
"Iya, aku percaya," balas Laura lagi.
Entah kenapa Arkan jadi merasa frustasi dengan yang Laura katakan, karena ucapannya berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya.
"Apa sebaiknya kita sarapan bersama?" tanya Dania yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan memakai gaun seksi tadi malam.
Arkan melirik ke arah Dania, kemudian langsung melangkahkan kakinya menghampiri wanita itu, segera dia menarik tangan Dania untuk keluar dari kamar hotelnya. Arkan menyeretnya lalu melemparnya keluar sampai Dania tersungkur ke bawah.
"Apa-apaan kamu, Arkan? Kasar sekali!" omel Dania.
Dania mengetuk-ngetuk pintu kamar hotel yang sudah tertutup oleh Arkan. "Sepatuku tertinggal di dalam," ucap Dania.
Tidak lama Arkan kembali membuka pintu dan segera melemparkan sepatu hak tinggi milik Dania tepat mengenai tubuh wanita itu yang langsung meringis kesakitan.
Arkan beralih pada Laura yang masih duduk di sana dengan wajah datarnya. Kemudian Arkan mendudukkan dirinya di samping Laura yang sedang menatap ke depan tidak meliriknya sama sekali.
"Kapan kamu Kembali? Kenapa tidak menghubungiku?" tanya Arkan.
"Aku sudah menghubungimu tadi, tapi sepertinya kamu sedang sibuk dengan urusan lain," jawab Laura.
Arkan merasa tersentil karena merasa kalau Laura sedang menyindirnya, sibuk dengan urusan lain mungkin maksud Laura adalah sibuk bergumul dengan Dania yang barusan dia lihat.
"Aku tidak melakukan apa pun dengannya," jelas Arkan sekali lagi.
"Aku sudah bilang kalau aku percaya," balas Laura.
"Kamu bilang kamu percaya, tapi kenapa kamu mengatakan hal barusan seakan kamu sedang menyindirku yang sedang sibuk tidur dengan wanita lain padahal tidak terjadi apa pun," ucap Arkan mulai kesal.
"Aku sama sekali tidak bilang seperti itu, kamu sendiri yang mengatakannya barusan," balas Laura lagi yang membuat Arkan semakin merasa tidak ada celah untuk membuat alasan.
"Baiklah, sekarang kamu sudah sembuh, jadi sekarang kamu sudah bisa melayaniku," ujar Arkan.
Bisa terdengar helaan napas lelah dari Laura, Arkan menatap Laura yang sedang melirik ke arah kasur yang berantakan. Arkan mengerti bagaimana Laura merasa terhina.
"Kamu bilang kamu percaya, tapi kenapa memasang ekspresi itu? Apa kamu cemburu?" terka Arkan.
"Tidak, aku tidak cemburu, hanya saja bukannya kamu sudah berjanji padaku?"
Arkan mengernyit heran, dia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Laura, Laura sendiri tidak ingin menjelaskan lebih dari itu, biar Arkan saja yang berpikir sendiri.
Tapi Arkan tidak mau ambil pusing, dia meraih sejuntai rambut Laura dan menghirup aroma dari sana yang seakan sudah menjadi obat penenang bagi Arkan.
"Tidak di sini, Arkan."
Laura berniat meraih rambutnya yang berada di genggaman Arkan, tapi Arkan langsung menindih Laura di sofa dengan kungkungannya.
"Arkan ...," lirih Laura.
Arkan mulai menciumi Laura, sedikit ciuman menggoda yang mencumbu pipi Laura, membuat wanita itu jadi risih karenanya. Laura ingin sekali berontak, tapi mengingat Arkan sudah memberikan semua uang pada Johan, Laura jadi mengurungkan niatnya.
"Ekspresimu masih seperti itu, aku tidak mengerti, Laura," bisik Arkan tepat di samping telinga Arkan.
"Aku ... jijik," ungkap Laura.
Baru saja Arkan ingin mencium bibir ranum Laura, tapi perkataan Laura sudah bisa menghentikannya, tadinya Arkan bernafsu menjadi kesal pada Laura.
"Jijik padaku?" tanya Arkan dengan wajah kesalnya.
"Bukankah kamu sudah berjanji akan menjadi istri yang siap melayani suaminya, pernikahan ini sah, Laura. Bahkan aku menuruti maumu di rumah sakit!" marah Arkan.
Arkan berusaha untuk tidak peduli dengan ungkapan dari Laura yang mengatakan kalau dia sedang jijik, entah jijik pada siapa pada dirinya atau pada apa, Arkan sama sekali tidak tahu akan hal itu.
Arkan tidak bisa menoleransi lagi, dia sudah menunggu sangat lama untuk bisa dilayani oleh Laura sebagai seorang istri, Arkan melanjutkan kegiatannya yang membuat ekspresi Laura semakin muak.
"Arkan, hentikan!" tolak Laura ketika Arkan ingin menggendongnya keranjang.
"Apa lagi yang salah?!" tanya Arkan dengan nada tinggi.
"Kamu sudah berjanji untuk memperlakukan aku sebagai manusia, tapi yang kamu lakukan sekarang sudah melanggar janjimu," ucap Laura.
Arkan mengernyit tidak mengerti, padahal dia sudah merasa menepati janjinya dengan membiarkan Laura tidak melayaninya di rumah sakit dan baru sekarang dia mau minta.
"Apa maksudmu aku melanggar janji?" tanya Arkan bingung.
"Kamu yang bilang sendiri walaupun pernikahan ini dipaksakan, tapi aku istri sahmu di mata hukum. Apa kamu bisa menaruh diriku di ranjang yang sama dengan wanita yang pernah tidur seranjang denganmu tadi malam? Apa itu terlihat memperlakukanku seperti manusia yang kamu janjikan?" ucap Laura mengingatkan.
Arkan diam untuk berpikir sejenak, yang Laura katakan ada benarnya. Itu sama sekali tidak terlihat seperti dia memperlakukan Laura selayaknya manusia, bahkan beberapa binatang pun tidak bisa melakukan itu.
"Maaf, pikiranku sangat pendek," ucapkan.
Ini pertama kalinya Arkan meminta maaf pada Laura, sampai Laura tidak percaya kalau dia sudah mendengarkan kata maaf dari Arkan. Tangan Laura terulur ke leher Arkan dan memberanikan diri memberinya kecupan singkat di pipinya.
"Maafkan aku juga yang belum sempurna menjadi istrimu, maafkan keluargaku, maafkan juga ... kakakku."
Arkan bisa melihat tangan Laura yang gemetar melakukan itu, harusnya dia tidak terlalu menekan Laura di hari pertama mereka sampai menanamkan ketakutan terbesar pada Laura.
Dan di sini Arkan tahu kalau Laura berusaha sebisanya agar bisa menjadi istri yang baik selama dia menebus kesalahan keluarganya. Laura menyentuh perasaan terdalam Arkan dan membuat Arkan merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya.
"Dengar, Laura ... aku minta maaf untuk membawa wanita itu ke sini, waktu itu aku sangat mabuk dan aku pikir itu adalah dirimu. Tapi setelah itu tidak terjadi apa pun, aku hanya berciuman saja dengannya, tidak lebih dari itu karena aku langsung sadar ketika kami berdua dalam kamar hotel," jelas Arkan.
"Aku percaya padamu, kita hanya perlu melakukan pernikahan sampai Bianca kembali, setelah saat itu, Bianca akan menggantikan posisiku dan aku akan mundur," balas Laura.
"Aku tidak mengerti, Laura. Kamu bersikap seakan keperawananmu tidak penting, padahal aku sangat yakin aku adalah pria pertama untukmu, tapi kenapa kamu tidak menahanku dan malah menyerahkan posisi itu kelak?" tanya Arkan.
"Karena sejatinya aku adalah pengganti Bianca dan tidak lebih dari itu, aku adalah pelampiasanmu. Orang yang kamu cintai adalah Bianca, bukan aku. Jadi aku tahu posisi dan kapasitasku sampai di mana, aku tidak akan menuntutmu lebih selama kamu memperlakukan aku seperti manusia," jelas Laura.
Arkan makin tidak mengerti dengan yang istrinya ucapkan. Jika dengan Bianca yang memposisikan dirinya setinggi langit, Laura sangat berbeda, Laura memposisikan dirinya serendah mungkin sampai Arkan pun merasa bingung bagaimana cara memperlakukan Laura.
"Dengarkan aku, Laura. Hubunganku dengan Bianca sudah gagal, aku ingin mencoba lembaran baru bersamamu, denganmu aku jadi tidak merasa sakit hati dan seakan lukaku yang Bianca torehkan di sini, sedikit demi sedikit terhapus," kata Arkan sambil memegang dadanya sendiri.
"Aku tahu, aku akan berusaha keras membuatmu tidak sakit hati lagi ataupun kesal dengan perkataanku sejak awal kita bertemu, tapi tetap aku tidak ingin menjadi duri di antara hubungan kalian berdua, karena seperti yang aku katakan tadi kalau yang kamu cintai adalah Bianca bukan aku," balas Laura.
"Aku bisa mencintaimu, aku rasa sekarang juga aku mulai mencintaimu, aku cukup menyukaimu," sanggah Arkan.
Laura tersenyum kecil mendengar Arkan yang mengatakan kalau pria itu mencintai dirinya, padahal mereka bersama hanya dalam waktu beberapa hari seperti membeli sebuah permen yang begitu mudahnya Arkan mengatakan cinta.
"Kamu mungkin menyukaiku, tapi kamu tidak mencintaiku. Mungkin suatu saat jika Bianca kembali ke hadapanmu, aku yakin kamu tidak akan menoleh sedikitpun padaku dan langsung beralih pada Bianca. Begitulah Yang aku dengar dari mulutmu sendiri, kamu mengatakan kalau Bianca pergi dengan selingkuhannya, tapi kamu tetap ingin melanjutkan pernikahan bersama dia, itu berarti kamu sangat mencintainya," jelas Laura.
Arkan bingung, dia sendiri tidak tahu jika saja suatu saat nanti Bianca kembali ke hadapannya, apakah dia akan melakukan yang dia katakan pada Laura, atau malah berbalik menyerang Laura dengan meninggalkannya dan kembali pada Bianca.
"Tapi aku ingin memulainya denganmu," ucap Arkan sungguh-sungguh.
Bertepatan dengan Arkan setelah mengatakan itu, ponselnya berdering dan Laura juga bisa melihat nama yang tertera di layar ponsel, Bianca sedang menelpon Arkan.