"Katanya kamu sudah menikah dengan Bianca si model sexy itu?" goda Raka sambil menyiku Arkan yang sedang minum.
"Aku pikir dia hanya mempermainkanmu saja, tapi ternyata kamu menikah juga dengan wanita itu," timpal Anton.
"Tidak, aku tidak menikah dengan Bianca, aku menikah dengan adiknya, Laura." Arkan menyela pernyataan mereka karena tidak ingin ada yang salah paham.
"Dia punya adik?" tanya Raka.
Raka, pria berumur 28 tahun, lebih muda satu tahun dengan Arkan mengernyit heran. Padahal Arkan terlihat begitu tergila-gila pada Bianca, tapi bisa-bisanya Arkan menerima pernikahan dengan wanita lain yang itu adalah adik dari Bianca sendiri.
"Iya, dia punya adik, Laura namanya." Arkan menenggak alkoholnya lagi.
Matahari sore lumayan untuk dibuat mengobrol santai dan minum-minum, Arkan dan teman-temannya memang tidak ada batasan dalam mengobrol, mereka saling membuka masalah satu sama lain.
"Bukannya kamu terlalu mencintai Bianca, kenapa kamu jadi bisa menerima pernikahan dengan orang lain?" tanya Anton yang tidak kalah herannya dengan Raka.
"Tadinya aku juga baru pikir begitu, tapi sekarang semuanya terasa lain ...." Arkan tersenyum kecil.
Kedua sahabatnya menyadari itu langsung mendekat merapatkan duduknya, sudah tidak sabar ingin mendengar cerita dari Arkan, walaupun mereka pria, mereka juga suka bergosip.
"Coba ceritakan dengan detail bagaimana pernikahanmu bisa terjadi," pinta Anton.
"Jadi waktu itu aku terus menekan keluarga Prabaswara biar bagaimanapun harus melaksanakan pernikahan ini karena aku tetap ingin memaksakan pernikahan dengan Bianca yang kabur dan aku juga tidak ingin mendapat malu karena pernikahan yang batal.
Tapi ternyata mereka lebih licik dari yang aku duga, aku pikir mereka akan memberikan Bianca secepatnya padaku, tapi ternyata tidak, mereka malah memberikan orang lain dan itu adalah adik Bianca sendiri agar pernikahan tidak aku batalkan.
Aku mengancam mereka akan mengambil investasi dan mahar kembali jika pernikahan ini gagal, tapi mereka menawarkan adiknya sebagai, jadi aku tidak bisa berkutik lagi karena aku memberi syarat tidak ingin membatalkan pernikahan itu bagaimanapun caranya."
Mereka mengangguk-angguk menikmati cerita Arkan yang sepertinya seru untuk mereka dengar.
"Lalu?" sahut Raka.
"Lalu aku berniat menyiksanya untuk membalaskan rasa sakit hatiku terhadap kelakuan keluarganya yang berlaku padaku seperti itu. Hanya awalnya saja, tapi semuanya berubah begitu aku mengenal Laura lebih dalam."
Anton dan Raka sama-sama mengernyit heran menatap ke arah Arkan yang sekali lagi menarik senyuman simpul.
"Lalu apa yang membuat kamu berubah?" tanya Anton.
"Kalian pasti akan mengerti jika jadi aku. Waktu itu aku bertemu pertama kali dengan Laura di ruang rias, wajahnya begitu pucat dan sangat terlihat murung. Dia benar-benar terlihat sangat dipaksakan sampai aku merasa kesal padanya, padahal aku merasa akulah yang rugi di sini.
Karena aku tidak menikah dengan orang yang aku cintai dan malah dia, saat malam pertama aku ingin dilayani dan aku menganggapnya sebagai p*****r yang aku bayar, itu penyesalan terbesarku. Kalian harus tahu kenapa aku menyesal.
Aku melakukan malam pertama dengan paksaan dan menyadari kalau Laura adalah perawan, aku pria pertama untuknya, saat itu aku sedikit merasa bersalah pada Laura, tapi aku menepis perasaan itu sendiri.
Ketika sampai di hotel Batam, aku baru menyadari kalau Laura baru saja berumur 21 tahun, saat itulah aku merasa beruntung mendapatkan Laura yang masih perawan dan baru saja melewati masa dewasanya."
Anton dan Raka menutup mulutnya sendiri, mereka tidak menyangka kalau sahabatnya mengalami hal seperti itu.
"Lalu bagaimana dengan wanita itu?" tanya Raka penasaran.
"Aku ingin mempertahankan Laura, aku merasa hatiku mulai menyukainya dan ketika bersamanya, aku merasa rasa sakit hatiku akibat Bianca teratasi. Jadi aku pikir tidak ada salahnya memulai lembaran baru," jelas Arkan lebih lanjut.
"Astaga, sepertinya wanita itu lebih hebat dari Bianca sampai membuatmu bisa berpikir begitu hanya dalam beberapa hari."
Mereka semua tertawa seakan merayakan patah hati Arkan yang sudah sembuh, Raka mengajak mereka bersulang dan menenggak alkohol bersama.
"Arkan ...!"
Teriakan dari seseorang membuat mereka mengalihkan ke sumber suara dari belakang. Terlihat wanita muda cantik dengan atasan merah dan bawahan rok putih pendek sedang berjalan ke arah mereka.
"Kenapa keluar? Apa kamu sudah baik-baik saja?" tanya Arkan pada Laura.
"Ponselmu dari tadi berdering, sepertinya ada yang penting." Laura menyerahkan ponsel milik Arkan pada pemiliknya.
Dan benar saja ponselnya terus berdering bahkan sampai sekarang, Laura pun tidak bisa mengetahui siapa yang menelpon Arkan karena tidak tahu sandi ponsel pria itu.
Arkan meraih ponselnya dan melihat nomor yang tertera di layar ponsel adalah nomor Bianca yang satu lagi yang tidak dia simpan, buru-buru Arkan langsung menolak panggilan telepon itu dan memblokir nomornya.
"Jika kamu menerima panggilan dari nomor yang tidak tersimpan kamu harus menolaknya," ujar Arkan.
"Tapi itu ponselmu dan aku rasa aku tidak berhak untuk mencampuri urusanmu, aku juga tidak tahu sandi ponselmu."
Arkan buru-buru menggulir layar ponselnya dan menyunting sesuatu, ternyata Arkan mengubah sandi ponselnya agar Laura bisa dengan mudah membukanya.
"Sandinya sudah aku ganti dengan tanggal pernikahan kita," ucap Arkan.
Hal itu bisa dilihat Raka dan Anton, kalau Arkan ternyata memang begitu terlihat menyukai Laura, apalagi Laura sangat cantik di mata para laki-laki dan dia jauh lebih unggul dibanding Bianca.
"Kamu serius?" tanya Laura menerima ponsel dari Arkan.
"Iya, aku serius." Arkan mengangguk mantap.
Bahkan Bianca pun tidak pernah dia perbolehkan memegang ponselnya, hanya Laura saja. Entah kenapa Arkan begitu luluh dan patuh terhadap wanita yang jauh lebih muda darinya.
"Aku akan memperkenalkanmu dengan temanku." Arkan memboyong Laura mendekat ke arah Raka dan Anton.
Mata Raka dan Anton tidak bisa terlepas dari Laura yang lumayan menarik perhatian mereka, gadis muda cantik yang menjadi istri Arkan. Ralat, Laura sudah bukan gadis lagi.
"Ini namanya Raka dan ini Anton." Arkan memperkenalkan Raka dan Anton yang masih terus menatap ke arah Laura.
Laura menggapai tangan Raka kemudian Anton dan menyebutkan namanya sendiri. Baru tadi Arkan mengatakan bahwa dia ingin serius pada Laura, tapi teman-temannya seakan tidak mendengarkan perkataannya dan terus menatap ke Laura.
Rasanya Arkan ingin sekali mencolok dua pasang mata sahabatnya itu karena terus saja menatap istrinya. Arkan mempersilahkan Laura duduk di sebelahnya karena dia tidak akan membiarkan Raka dan Anton dekat-dekat dengan Laura.
"Kamu sudah sembuh?" tanya akan merasa khawatir.
Pakaian yang Laura kenakan agak sedikit terbuka dan ada banyak pasang mata yang terus saja menatap ke arah Laura dari awal kemunculan wanita itu, padahal wanita yang berpakaian seperti itu sangat biasa untuk Arkan.
Tapi begitu Laura yang memakainya, Arkan jadi merasa panas dan tidak nyaman melihat orang-orang terus menatap ke istrinya, padahal wanita lain pun memakai pakaian yang lebih terbuka dari Laura dan lagi pula ini pantai.
"Ya, aku sudah sembuh, memangnya kenapa kalau aku keluar? Aku juga ingin menikmati liburan ini daripada harus terus berada di dalam kamar," balas Laura.
"Terserah," acuh Arkan.
"Jahat sekali kamu, Arkan. Kamu mengurung istrimu yang cantik ini hanya di kamar saja, dasar pria tidak punya perasaan," ledek Anton.
Arkan melotot ke arah Anton, dia menginjak telapak kaki Anton dari bawah meja membuat pria itu meringis kesakitan, tapi Anton lumayan bisa mengontrol ekspresinya agar semua orang tidak tahu kesakitannya.
"Pakaianmu terlalu terbuka, aku takut kamu akan sakit lagi karena kedinginan," ujar Arkan asal.
"Terbuka ...?" Laura langsung melihat caranya berpakaian, baru dia membandingkan dengan wanita-wanita lain yang berada di sekitarnya.
"Aku tidak terbuka dibanding wanita lain yang di sini, lagi pula ini pantai dan udaranya lumayan hangat, jadi tidak mungkin aku kedinginan," sanggah Laura.
"Aku bahkan belum memakai bikini," lanjut Laura.
Perkataan Laura selanjutnya membuat Arkan tersedak minumannya, dia sampai batuk-batuk karena tersedak alkohol yang dia minum bersamaan dengan Laura yang mengatakan hal itu.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Laura.
Laura sebenarnya ingin menolong, melihat tidak ada air putih di meja itu membuat Laura tidak bisa berbuat banyak.
"Tidak, tidak ... boleh pakai bikini!" ucap Arkan yang tersendat-sendat.
Laura mengerutkan dahinya menatap ke arah Arkan bingung, padahal Laura sedang menyesuaikan standar Arkan yang berbeda jauh darinya, tapi justru akan malah menolak.
"Memangnya kenapa? Bukannya kamu ingin mengajakku berenang? Lalu kamu mengatakan agar tidak mempermalukan," ucap Laura dengan polos yang di hadapan para pria dewasa yang mengelilingi meja itu.
"Tega sekali kamu, Arkan. Kamu bilang seperti itu pada istrimu? Mana ada wanita secantik ini mempermalukanmu? Rupanya otakmu benar-benar sudah tidak beres karena disakiti Bianca," celetuk Raka.
Sekarang giliran Arkan yang melotot ke arah Raka, dengan tatapannya Arkan memperingati Raka agar tidak ikut campur ke dalam masalah rumah tangganya.
"Pokoknya tidak boleh pakai bikini, aku tidak suka melihatmu memakai itu, kamu ... tidak cocok." Arkan terlihat mencari-cari alasan yang bisa diterima oleh Laura.
Laura pun tidak ingin mendebat lagi kalau memang pandangan Arkan menilainya tidak cocok dengan pakaian seperti itu, tapi dia jadi bingung harus memakai pakaian apa yang tidak membuat Arkan malu.
"Lalu aku harus pakai apa?" tanya Laura.
"Pakai ... kaos dan celana saja, itu sangat cocok untukmu."
Laura mengangguk mengerti, sedangkan Raka dan Anton sangat menyayangkan karena akan terlalu mengatur Laura dalam hal berpakaian. Walaupun mereka teman-temannya, akan tidak mau ada pria lain yang melihat lekuk tubuh istrinya selain Arkan sendiri.
Karena hanya sesama pria yang mengerti bagaimana pria lain, akan tahu seberapa buruknya pria lain jika berhadapan dengan wanita cantik seperti Laura yang masih muda dan lugu.
Awalnya Arkan memang menolak pesona Laura dan menanamkan dalam hatinya kalau jauh lebih cantik dari Laura, tapi ternyata sisi laki-laki Arkan mengakui kalau tampilan fisik Laura jauh lebih unggul daripada Bianca.
"Apa kamu tidak ingin minum?" tawar Anton.
"Akan aku colok mata kalian jika berani-beraninya memberi istriku minum alkohol!" ancam Arkan.
Anton mencabik tidak suka karena baginya Arkan terlihat seperti pria munafik yang mencoba menjadi pahlawan kesiangan, padahal Arkan sendiri baru saja menenggak alkohol.
"Aku tidak minum," tolak Laura lembut.
Satu hal lagi yang membuat Arkan tahu tentang Laura dan membuatnya semakin jatuh dalam pesona Laura. Arkan memandangi setiap sisi wajah Laura dan hatinya kembali menghangat.
"Hai ... kalian tidak melupakan aku, kan?" Suara wanita dari samping menyapa indra pendengaran mereka semua.