Arkan menarik Laura hingga setengah terseret, memakai gaun pengantin yang mengusahakannya dalam berjalan membuat Laura tidak bisa menyamai langkahnya dengan Arkan.
"Tunggu sebentar, pelan-pelan ...," lirih Laura.
Arkan seakan pura-pura tuli tidak mendengarkan suara Laura yang memohon dengan ringisan dan juga lirihan akibat cekalan tangan Arkan.
Mereka sampai di depan mobil, Arkan langsung membuang semua hiasan bunga yang melekat di mobilnya, melampiaskan segala kekesalan dirinya karena tidak menikah dengan Bianca.
Arkan membuka kasar pintu mobil dan mendorong Laura dengan kuat ke dalam mobil, mata Laura mulai berkaca-kaca dengan perlakuan kasar Arkan yang tidak bisa lembut sedikit.
"Kita langsung ke hotel, Tuan Arkan?" tanya pria tua yang bekerja sebagai sopir.
"Tentu saja! Kamu sudah tahu tujuanku, kenapa masih bertanya?!" balas Arkan tidak sopan.
Arkan langsung masuk ke dalam mobil setelah mengatakan semuanya, diikuti dengan pria tua yang masuk ke pintu bagian depan dan langsung menjalankan mobilnya.
Laura menunduk takut karena sekarang Arkan duduk di sampingnya, pikir Laura jika Arkan saja berani dengan orang yang jauh lebih tua darinya, Arkan juga akan lebih berani dengannya yang bukan siapa-siapa.
"Namamu Laura, kan?" tanya Arkan dengan nada rendah tapi menusuk.
Laura mengangguk pelan, dia tidak sanggup menoleh ke arah Arkan. Terbayang akan perlakuan kasarnya barusan membuat tangan Laura gemetar hebat.
"Ketika aku sedang bicara, tatap mataku, Laura!" bentak Arkan membuat Laura semakin menunduk.
Laura semakin takut, tidak berani sedikitpun melirik pada pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya. Arkan menangkup wajah Laura agar bisa bertatapan dengan istrinya.
Terlihat wajah Laura yang begitu menyedihkan, matanya sudah dipenuhi tampungan air yang akan segera jatuh. Entah mengapa Arkan merasa senang dengan air mata yang keluar dari Laura.
Rasa dendam dan kebenciannya seakan terbalas dengan luka yang Arkan torehkan pada Laura, baginya ini belum seberapa dengan rasa sakit yang dia derita akibat ditinggalkan Bianca.
"Baru hari pertama kamu sudah bersikap tidak sopan padaku, aku sudah menjadi suamimu sekarang!" bentak Arkan.
"Maaf ...," lirih Laura.
Arkan menyentak tangannya setelah puas memandangi wajah Laura yang terluka karena perbuatannya.
"Jangan merasa tersakiti begitu, semua ini karena kamu sendiri yang memilihnya. Tidak mungkin kamu jadi istriku sekarang kalau kamu tidak memilih untuk menjadi pengantin tadi! Maka dari itu pikirkanlah baik-baik sebelum mengambil keputusan karena sekarang kamu akan menanggung semuanya!"
Laura mengangguk pelan, dia sama sekali tidak bisa membantah atau membuat marah Arkan, itu semua dilakukan karena Avin, saat sekarang pun Laura memikirkan bagaimana kondisi ayahnya yang telah merawatnya dari kecil sampai sekarang.
Laura belum menghubungi Avin sama sekali, mungkin jikalau orang mengetahuinya Avin akan sangat kaget dan Laura tidak mau sampai membuat Avin khawatir.
Laura memejamkan matanya sejenak dan menghapus air matanya, dia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaannya sendiri, Laura melirik ke arah luar jendela mobil, terlihat lampu-lampu jalanan yang tampak begitu indah seakan menghibur dirinya.
"Ini hanya pernikahan, tidak menyeramkan itu. Aku hanya perlu berada di sampingnya sampai dia benar-benar bosan padaku, itulah cara untuk melindungi Papa," batin Laura.
"Laura!"
Bentakan dari Arkan membuat Laura tersadar dari lamunannya, di mana oleh ke arah Arkan yang sudah berada di luar. Ternyata mereka sudah sampai di hotel.
Laura masih termenung melihat Arkan, dengan terpaksa Arkan mengitari mobil dan membuka pintu dari sisi Laura, menarik wanita itu keluar dari mobil dengan kasar.
"Keluar!" teriaknya lebih keras lagi.
Laura langsung ditarik kembali oleh Arkan memasuki hotel setengah terseret dengan gaun pengantinnya yang terurai ke bawah. Tangannya terasa begitu perih setiap kali Arkan menariknya.
Arkan melirik ke arah Laura yang jatuh tersungkur karena tarikannya, saat itu juga Arkan tersenyum puas melihat penderitaan yang Laura alami. Arkan melepaskan genggaman tangannya, tidak berniat membantu Laura yang jatuh ke bawah.
Laura berusaha bangkit dan menyusul langkah Arkan, dia tidak mau jika mengundang amarah Arkan karena tidak bisa mengimbanginya, bisa-bisa jika Arkan mengadu pada Johan kalau dia tidak puas, maka Avin yang akan celaka.
"Jalanmu benar-benar lelet!" ledek Arkan yang sudah di depan lift.
Laura hanya bisa diam ketika Arkan mengejeknya. Mereka berdua memasuki ruangan yang terasa membuat Laura makin sesak, tapi tidak berselang lama, Arkan menarik lagi Laura menuju kamar hotel yang tidak jauh darinya.
"Tunggu, bisakah kita bicarakan ini sebentar?" ucap Laura menatap ke arah Arkan dari belakang.
Arkan langsung melempar Laura memasuki kamar hotel hingga Laura kembali tersungkur seperti tadi, setelahnya Laura mendengar suara dentuman pintu dibanting dengan kuat.
Laura bangun dan berbalik menatap Arkan yang juga tengah menatapnya begitu tajam, tatapan pria itu membuat Laura jadi merasa sangat ketakutan lebih dari tadi.
"Kalian keluarga Prabaswara sama saja! Kalian pikir bisa mempermainkanku?!" ucap Arkan berjalan maju.
"Apa maksudmu?" tanya Laura tidak mengerti.
Arkan terkekeh geli melihat respon dari Laura, baginya Laura terlihat seperti berpura-pura polos padahal munafik.
"Tidak usah berpura-pura tidak tahu, kakakmu pergi dengan selingkuhannya dan meninggalkanku di hari pernikahan! Lalu keluargamu keberatan untuk mengembalikan mahar dan modal dari keluargaku karena Bianca kabur, tapi keluargamu ternyata lebih licik dari dugaanku!" ungkap Arkan.
"Selingkuhan? Modal? Aku sama sekali tidak diberitahu tentang itu, aku hanya disuruh berpura-pura menjadi anggota keluarga mereka," batin Laura.
Laura menatap Arkan dengan berkerut heran, tapi melihat ekspresinya, Laura bisa merasakan kalau kekesalan Arkan memang berawal dari situ.
"Aku ... tidak tahu soal itu," balas Laura.
Lagi-lagi Arkan terkekeh mendengar respon dari Laura. "Kamu itu benar-benar munafik! Bersikap tidak tahu, padahal kamu sedang berdiri di sini sekarang untuk menggantikan Bianca dan kamu masih bilang tidak tahu? Dasar, satu keluarga sama saja!" dengus Arkan.
"Aku memang tidak tahu, aku hanya diminta menggantikan ka-kakakku, selebihnya aku tidak tahu apa yang terjadi," jelas Laura.
"Rupanya kamu membela dan membenarkan kelakuan Bianca yang melarikan diri bersama selingkuhannya?! Apa kamu tidak punya otak untuk berpikir!" teriak Arkan.
"Aku tidak membelanya, tapi aku memang benar tidak tahu, maafkan aku membuatmu marah," balas Laura.
Entah kenapa Arkan yang mendengar permintaan maaf dari Laura semakin merasa marah, Arkan maju selangkah lagi dan menjambak rambut Laura sampai dia mendongak menatap sepasang mata Arkan.
"Maafmu tidak memadamkan rasa sakit hatiku!" gertak Arkan.
Laura meringis kesakitan, dia berusaha melepaskan tangan Arkan darinya, tapi tidak bisa, malah Arkan yang menyentak sendiri dengan kasar membuat Laura lagi-lagi jatuh ke bawah.
"Kalian pikir aku tidak akan berani melakukan hal yang lebih jauh dari ini?" tanya Arkan yang menatap Laura bangun.
"Kamu pikir aku tidak mampu menyentuhmu? Hanya karena kamu pengantin pengganti bukan berarti aku tidak bisa menyentuhmu! Aku tipe orang yang tidak suka dirugikan, Laura!" Tatapan mata Arkan benar-benar menguliti Laura sampai dirinya hanya bisa menunduk.
"Tapi, bukankah kita tidak saling mencintai. Kamu pasti tidak ingin tidur dengan orang yang tidak kamu cintai, kita hanya perlu menikah dan menunggu Bianca kembali, dia pasti akan kembali padamu," balas Laura.
"Kembali padaku?! Setelah dia lebih memilih selingkuhannya? Apa kamu gila?! Kamu pikir aku tidak punya harga diri? Jangan kelewatan, Laura! Aku bukan b***k cinta kakakmu, biarpun aku mencintainya, tapi harga diriku masih ada!" teriak Arkan.
"Bukan begitu maksudku, tapi kamu sendiri yang mengatakan dan menekan untuk pernikahan ini tetap dilanjutkan, padahal kamu sudah tahu kalau Bianca pergi, itu berarti kamu sangat mencintainya dan berharap kalau yang menikah denganmu adalah Bianca."
Arkan semakin marah dengan perkataan Laura barusan, dia lebih maju lagi dan sekarang jarak antara mereka begitu dekat membuat Laura bisa merasakan hembusan napas Arkan.
"Aku tidak peduli. Keluargamu memberikanmu sebagai pengganti Bianca karena tidak ingin mengembalikan semua yang aku beri, aku bisa menuntut keluargamu mengembalikan berkali-kali lipat jika aku merasa tidak puas dengan pernikahanku bersamamu, pada intinya kamu hanya wanita yang digadai keluargamu, jadi jangan coba-coba melawan atau menasehatiku seperti tadi."
Laura diam, napasnya tercekat dan bibirnya tidak mampu membalas perkataan Arkan barusan, mendadak kepalanya jadi pusing dan begitu mual mendapat tekanan berlebih dari suaminya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Laura panik karena Arkan sudah memeluknya.
Arkan menjatuhkan ciuman di bibir ranum Laura dengan kasar, membuat sesekali wanita itu meringis kesakitan. Arkan juga membuang kasar semua hiasan yang berada di rambut Laura ke sembarang arah.
Gaun putih yang indah sudah robek compang-camping membuat lekukan tubuh Laura semakin terlihat jelas, Laura berusaha keras melepaskan diri, tapi Arkan mendorong kuat Laura ke ranjang.
"Arkan, hentikan! Tolong ... kamu pasti akan menyesal jika Bianca kembali nanti."
Arkan tidak membiarkan Laura menghasutnya dengan kata permohonan dan juga derai air mata, baginya Laura dan Bianca sama karena keluarga Prabaswara.
"Arkan ... maafkan aku, jangan lakukan itu."
Tapi telat, Arkan sudah lebih dulu melakukan penyatuan yang menghancurkan juga memutar balikkan hidup Laura saat itu juga ketika Arkan mulai mengisi relung terdalam Laura.
Melihat Laura yang terus menangis membuat perasaan Arkan sedikit terobati, dia merasa sakit hatinya sedikit terbalas dengan semua permainan licik keluarga Prabaswara.
"Berhenti menangis, kamu bukan korban dan aku suamimu, sudah selayaknya kamu melayaniku dalam urusan ranjang!" omel Arkan.
Laura diam, tidak membalas Arkan yang terlihat puas menjebol dirinya. Laura merasa ingin sendiri dan memerlukan ruang untuk meratapi kesedihannya.
"Kita punya beberapa waktu untuk bersiap ke bandara, tiketnya sudah aku pesan dan tidak ada bantahan untuk itu!" tegas Arkan.
Melihat Laura yang diam saja membuat Arkan kesal dan membalikan tubuh Laura agar mereka saling bertatapan.
"Aku masih bisa menarik semua modal yang aku berikan jika kamu masih jadi istri yang pembangkang seperti ini!" ancam Arkan.
"Aku mengerti ...," lirih Laura.
Laura mendudukkan dirinya dan memakai handuk melingkari tubuhnya dengan canggung, lalu Laura berjalan ke kamar mandi meninggalkan Arkan.
Pandangan Arkan menangkap sesuatu yang membuatnya kaget, bercak merah di paha Laura yang berjalan ke kamar mandi, kemudian Arkan melihat ke arah ranjangnya yang juga terdapat bercak sama.
"Dia masih perawan ...? Padahal aku berpacaran dengan Bianca saja, aku tahu kalau bukan aku pria pertama untuk Bianca."