Selama perjalanan Laura hanya diam dan Arkan pun tidak ingin mengajaknya bicara, karena dia merasa bukan kewajiban yang harus membujuk Laura, baginya Laura hanya barang gadaian yang ditukar oleh keluarganya dengan uang yang Arkan berikan.
Jadi Arkan pikir tidak masalah memperlakukan Laura seperti apa pun karena sekarang wanita yang berada di sampingya sudah jadi miliknya. Jadi Arkan tidak ingin menundukkan dirinya walau hanya untuk mengajak bicara Laura.
"Turun!" titah Arkan membuat Laura langsung turun dari taxi.
Sampai begitu pun Arkan tidak Sudi membawakan koper Laura, terpaksa istrinya harus membawa koper yang berat sendirian. Tanpa Arkan sadari kalau wajah Laura memucat sedari tadi.
Mereka mengambil penerbangan paling akhir sampai di hotel dalam waktu yang lumayan larut, Laura hanya bisa patuh terus mengikuti Arkan sampai depan pintu kamar hotel.
Arkan mendorong Laura masuk agak kasar dan Laura pun hanya bisa menerima tanpa niat membalas atau marah sama sekali, satu hal yang membuat Arkan entah mengapa kesal.
"Apa kamu tidak punya mulut untuk berkata apa pun?! Atau kamu memang sengaja diam karena ingin aku bujuk?!" bentak Arkan.
"Katamu aku harus jadi istri penurut yang tidak membangkang," jawab Laura dengan suara serak.
Jawaban yang sungguh membuat Arkan makin kesal, terdengar seperti Laura terpaksa menikah dengannya dan menjadi istri yang penurut karena takut Arkan marah, lalu meminta kembali uang yang sudah dia berikan.
"Jadi kamu seakan terpaksa menikah denganku, padahal keluargamu juga sudah diberikan keuntungan yang besar! Uang yang aku berikan pun aku rasa terlalu banyak untuk membeli harga dirimu!"
Arkan mulai membahas masalah uang yang membuat diri Laura tergadai di tangan Arkan sekarang, rasanya begitu nyeri ketika Arkan menyadarkannya kalau harga diri Laura sudah dibeli.
Baru sore hari Laura berstatus sebagai perawan, tapi saat sekarang Laura sudah bukan gadis lagi karena harga dirinya memang sudah dibeli, sesuai kata Arkan.
"Maafkan aku, aku hanya ... tidak ingin membuatmu marah," ucap Laura menundukkan pandangannya.
"Kamu sudah membuatku marah dari awal pernikahan! Kamu menggantikan Bianca yang aku cintai, yang harusnya menikah denganku! Kamu membuat semua tamu undangan berpikir kalau pernikahan kita hanya sebatas pernikahan bisnis yang dipaksakan! Kamu juga tidak melayaniku dengan baik!" cerca Arkan.
Entah kenapa perkataan Arkan sungguh menusuk hatinya, Laura ingin berontak, tapi dia tidak bisa jika mengingat bagaimana Johan memperlakukan Avin. Laura hanya bisa membisu menerima semua hinaan dari Arkan yang bagi dirinya Laura masih kurang untuk menjadi seorang istri.
"Jika aku sedang bicara begini pun kamu hanya bisa diam saja! Kamu tidak menatap mataku atau menjawabku!" gertak Arkan.
"Aku minta maaf ... a-aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana, ini terlalu tiba-tiba untukku, aku tidak mengenalmu dan tidak tahu apa yang kamu sukai atau apa yang kamu tidak sukai sampai membuatmu marah, aku sama sekali tidak berniat membuatmu marah," jelas Laura.
Air matanya langsung terjun, membuat Laura menangis sesenggukan di hadapan Arkan. Arkan jengkel, tapi tangisan Laura membuat sisi hati nurani Arkan terketuk sedikit.
"Kamu pikir aku mengenalmu? Kamu pikir ini bukan pertama kalinya bagiku untuk menikahi wanita lain yang tidak aku cintai?! Pikir pakai otakmu!" bentak Arkan sambil menuding ke Laura.
"Maafkan aku," ucap Laura lagi.
"Hanya itu yang bisa kamu katakan padaku!" desis Arkan tidak suka.
Laura diam, dia memejamkan matanya merasakan pusing yang menjalar di kepala, tapi Laura terus menahannya karena sedang berhadapan dengan Arkan.
"Kamu mendengarku, tidak?!" teriak Arkan.
Laura mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah Arkan, tapi beberapa saat pandangannya langsung buram dan menggelap sampai tubuhnya limbung ke bawah.
Buru-buru Arkan menggapai tubuh Laura yang hampir saja membentur lantai, Arkan mengguncang tubuh Laura yang tidak sadarkan diri, Arkan pikir Laura hanya berpura-pura saja, tapi ternyata Laura benar-benar pingsan.
"Astaga, aku baru mengomel seperti ini saja sudah pingsan?! Bagaimana aku bisa membalaskan dendamku padanya kalau begini saja ya sudah lemah," gerutu Arkan.
Terpaksa Arkan membawanya ke rumah sakit terdekat dari hotel Batam yang akan mereka pakai untuk berbulan madu, harusnya bulan madu dipenuhi dengan rangkaian kenangan yang akan dibuat begitu manis.
Tapi sekarang Arkan malah harus berakhir di rumah sakit menemani istrinya yang tengah terbaring lemah di ranjang serba putih, ditatapnya wajah Laura yang begitu pucat. Arkan sedikit menyesali karena terlambat menyadarinya.
Arkan menyentuh tangan istrinya yang mendingin, keadaannya memang benar baik-baik saja, tapi dendam Arkan pada keluarga Laura tidak bisa menerima itu, Arkan terus menepis kalau Laura benar-benar sakit dengan kepura-puraan yang sedang wanita itu jalani.
"Apa sesakit itu?" tanya Arkan pada Laura yang tidak sadarkan diri.
Arkan mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Laura yang menghangat, sekali lagi Laura menyentuh hati nurani Arkan yang tengah dihadapkan dengan situasi rumit.
"Kenapa aku harus merasa kasihan padamu, padahal keluargamu sangat tidak menghargaiku," gumam Arkan.
Arkan menarik tangannya ke tempat semula setelah mendengar ada suara pintu terbuka, terlihat pria dengan pakaian serba putih datang menghampirinya.
"Ibu Laura kelelahan dan sepertinya dia dehidrasi, apa dia tidak makan atau minum seharian?" tanya dokter pada Arkan.
Yang ditanya menggeleng, entah tidak tahu atau tidak peduli, terdengar helaan dari dokter yang mengajak Arkan bicara.
"Sebaiknya perhatikan aktivitas Ibu Laura dan apa yang dikonsumsinya, saya akan memberi resep vitamin nanti, saya permisi dulu."
Penjelasan dari dokter membuat Arkan termenung, dia tidak tahu kalau Laura tidak makan seharian, begitu mengingat pesta pernikahannya kembali, dia baru ingat kalau Laura memang tidak menyentuh apa pun yang dihidangkan.
"Sikapmu benar-benar seperti anak kecil yang tidak bisa memikirkan kondisi sendiri karena merajuk dipaksa menikah denganku," gumam Arkan.
Arkan tidak ingin perasaannya terus terlarut dalam rasa bersalah, dia memilih meninggalkan Laura di rumah sakit sendirian, berhubung rumah sakit bersebelahan dengan hotel, Arkan jadi bisa tenang meninggalkan Laura.
Sampai di kamar hotel dia melihat koper Laura yang masih berada di sana, pikirannya penasaran dan tangannya sudah gatal untuk membongkar, akan pun melakukan hal itu juga.
Membongkar seluruh isi koper Laura, terdapat beberapa pakaian dan beberapa barang, Arkan mendapati dompet Laura yang berada di dalam koper, segera dia membuka untuk melihat isi dompetnya.
Tidak ada uang sama sekali dan hanya beberapa kartu di sana, akan segera mengecek kartu tanda pengenal yang diselipkan lepitan dompet, begitu membaca semuanya Arkan langsung melotot.
"Mereka mengirim gadis yang baru berusia 21 tahun padaku?! Dia baru saja melewati masa dewasanya, aku tidak menyangka dia semudah itu!" gerutu Arkan.
Arkan kembali mengingat kejadian di mana mereka pertama kali bertemu, di ruang rias. Laura sedang mengenakan gaun putih dengan wajah pucat menunduk di sana, lalu ingatannya beralih pada malam pertama mereka yang menyatakan kalau Arkan adalah pria pertama bagi Laura.
"Kita beda delapan tahun? Astaga, aku tidak menyadari itu, bagaimana aku bisa membalaskan dendamku padanya?" gumam Arkan.
"Tidak, kenapa aku harus merasa bersalah? Ini perbuatan yang setimpal, mereka menipuku dengan mengganti pengantin agar aku tidak menarik semua uangku dan putrinya masih perawan, itu setimpal jadi aku tidak perlu merasa bersalah."
***
"Kenapa kamu terus memandangi ponselmu terus, Ervin?" tanya seorang gadis manis bernama Lia.
Ervin menggeleng disertai senyuman, kemudian Ervin menaruh ponselnya ke saku celana dan menghembuskan napas lelahnya.
"Apa ada masalah dengan kekasihmu?" tanya Lia menyelidik.
"Seperti biasa, begitulah hubunganku yang naik turun," jelas Ervin.
Lia memandangi Ervin yang meminum minumannya, terlihat tidak seperti biasa yang akan santai, sekarang Ervin justru kelihatan gelisah.
"Itu karena kamu yang seperti anak kecil dan tidak dewasa, masa setiap kali pacarmu tidak bisa menuruti kemauanmu, kamu putuskan dan menyambung kembali, jika aku jadi kekasihmu pasti aku sudah membencimu," gerutu Lia.
Ervin tertawa sambil menggeleng. "Tapi kamu bukan dia, Laura itu penyabar dan dia selalu merenungi kesalahannya, dia juga menyayangiku dan akan selalu berada di dekatku, pasti dia akan merenungi perkataanku," balas Ervin.
Lia memukul kepala Ervin sampai membuat yang punya kepala meringis kesakitan.
"Kamu benar-benar berpikir kalau kamu itu tampan sekali dan kekasihmu sangat mencintaimu? Sampai kamu melakukan hal seenak seperti itu, ada saatnya wanita lelah dengan kelakuanmu yang begitu dan memilih pergi meninggalkanmu, Vin!" jelas Lia penuh tekanan.
"Kenapa jadi kamu yang marah, sudah beberapa kali kami melalui hal seperti ini dan kami tetap bersama pada akhirnya. Sekarang dia belum membalas pesanku, mungkin saja dia masih merenungi dirinya," jawab Ervin dengan entengnya.
Entah kenapa Lia jadi merasa kalau temannya ini terlalu percaya diri dan merasa begitu tampan sampai bisa membuat wanita terus berada di sampingnya.
Ervin memang tampan, tapi masih biasa saja dan tidak setampan itu, Ervin juga terlahir dari keluarga yang berkecukupan dengan latar belakang keluarga yang cukup luar biasa.
"Ah sudahlah, intinya nanti kamu akan kena karma ketika wanita itu menjauh, kamu akan menyesal menyia-nyiakan pacarmu itu," nasehat Lia.
"Aku tidak akan menyesali karena pacarku tetap akan berada di sisiku."
Lia mencebik kesal mulutnya menatap ke arah Ervin.
"Dengar-dengar Kak Arkan sudah menikah kemarin? Apa kamu melihat pengantin wanitanya? Kenapa aku tidak menemukan foto pernikahan di akun sosial medianya? Katanya dia malah menikah dengan adik dari calon mempelai bukan dengan kekasihnya yang sexy itu, siapa nama pengantin wanitanya, ya? Aku lupa ...." Lia mulai berpikir.
"Ah, iya! Laura, namanya sama seperti kekasihmu," lanjut Lia.
"Entahlah, aku tidak datang karena malas, aku ingin membalasnya karena tidak datang di acara wisudaku!" celetuk Ervin.
"Padahal dia sepupumu sendiri, bisa-bisanya kamu membalas begitu! Mungkin saja yang menikah dengannya adalah kekasihmu yang kamu sia-siakan itu," sindir Lia dengan senyuman meledek.
"Tidak mungkin, Laura yang aku kenal hanya punya ayah, dia tidak punya ibu atau pun kakak dan lagi umur Laura berbeda jauh dengan Kak Arkan, jadi itu sangat mustahil. Nama Laura ada banyak sekali di kota ini, jadi aku akan pada percaya pada Laura-ku."