Laura membuka matanya perlahan, melihat langit-langit serba putih yang terang, kemudian Laura mulai terpejam membiasakan cahaya lampu masuk ke indra penglihatannya.
"Halo, Laura. Bagaimana keadaanmu?" tanya seseorang yang berada di sampingnya.
Laura melirik ke arah samping dan di sana sudah ada Arkan yang duduk menunggunya, Laura bisa melihat rambut Arkan yang berantakan dan wajah khas bangun tidur, sepertinya Arkan menjaganya semalaman.
Laura merasakan ada sesuatu yang sedikit berbeda dari Arkan, pria itu terlihat sedikit lebih peduli padanya tidak seperti sebelum dirinya pingsan.
"Apa perasaanmu baik-baik saja sekarang?" tanya Arkan.
Laura mengangguk pelan, dia mendudukkan dirinya di ranjang dengan hati-hati. Laura bisa melihat selang infus yang terpasang di tangannya, Laura melirik lagi ke arah Arkan.
"Aku baik-baik saja," balasnya.
Laura menyadari suaranya sangat serak dan bibirnya terasa begitu kering, matanya memindai ke sekitar untuk mencari sesuatu yang bisa melegakan dahaganya.
Ada satu botol air mineral di meja, baru saja Laura ingin menggapainya, Arkan sudah lebih dulu merebut botol itu dan segera membukanya, lalu Arkan menyodorkannya ke Laura.
Arkan membantu Laura minum sampai dia benar-benar melengos menolak tidak ingin minum lagi, Arkan menaruh botol di tempat semula.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau belum makan seharian? Dari kapan kamu tidak makan? Apa ini salah satu bentuk rajukanmu?"
Baru saja Laura bangun, tapi Arkan sudah menodongnya dengan banyak pertanyaan. Laura menatap wajah Arkan untuk memikirkan akan menjawab seperti apa dia, karena dilihat wajah Arkan yang tidak menampakan amarah, Laura jadi sedikit lebih berani untuk menjawab pertanyaan Arkan.
"Aku tidak merajuk, aku hanya disuruh untuk tidak makan dari semalam sebelum pernikahan karena katanya gaun pernikahannya lebih kecil dari ukuranku, aku juga dilarang makan karena takut merusak riasan," jelas Arkan.
Arkan mengernyit heran, dia mulai mengingat kejadian di mana mereka menikah. Memang benar kalau gaun yang dikenakan oleh Laura lumayan lebih kecil dari ukurannya karena gaun itu didesain untuk Bianca, bukan Laura.
Arkan teringat bagaimana dia menemui Laura di ruang rias, terlihat istrinya yang hanya menunduk dengan mengenakan gaun pengantin yang bagian dadanya mencuat setengah dan terlihat tidak nyaman.
Berbeda dengan Bianca yang menyukai gaya berpakaian sexy, Laura sepertinya kurang nyaman dengan pakaian seperti itu walau tubuhnya sangat mendukung dirinya berpakaian seperti itu.
Bukan hanya hari pernikahan mereka saja yang Arkan ingat, tapi pria itu juga mengingat malam pertama mereka, berbeda dengan dirinya yang sudah melakukan dengan Bianca berkali-kali, sampai rasanya tidak puas pada Laura.
"Bodoh! Kenapa kamu menurut saja?! Makan itu penting! Sekarang kamu makan karena aku sudah membelikanmu makanan," ucap Arkan sambil menyodorkan makanan di depan Laura.
Laura menatap makanan di depannya yang sudah dibelikan Arkan, rasanya sudah tidak berselera makan walaupun dia belum makan seharian.
"Kenapa? Kamu tidak suka?" tanya Arkan yang melihat Laura terus memandangi makanannya.
"Bolehkan aku beristirahat dulu?" tanya Laura menoleh ke arah Arkan.
"Tidak! Makan sekarang setelah itu kamu baru boleh beristirahat!" perintah Arkan.
Laura bukannya tidak menghargai Arkan, hanya saja dia masih pusing dan merasa mual tidak bisa makan dengan benar, mungkin yang Laura butuhkan hanyalah istirahat.
"Aku tidak berselera makan," balas Laura.
"Aku bilang makan!" marah Arkan.
Bagi Arkan, Laura justru tidak menghargai usahanya yang sudah mencari dan memberikannya makan subuh-subuh tadi.
"Aku ingin istirahat dulu setelah itu, aku baru akan makan, aku mual," jelas Laura.
"Apa kamu sengaja? Kamu sengaja agar kamu pindah cepat sembuh dan berlama-lama di rumah sakit?! Kita hanya bulan madu seminggu, kamu pasti berpikir tidak ingin melayaniku, kan?!" teriak Arkan marah.
Arkan menangkup kasar wajah Laura dengan kasar, mata Laura mulai berkaca-kaca melihat ke arah Arkan, Arkan menatapnya dengan penuh amarah tanpa belas kasihan.
"Kamu pikir aku membayarmu, hanya untuk menjadi istri?! Aku hanya ingin kamu melayaniku seperti seorang istri! Ingat, Laura. Aku membayarmu pada orang tuamu!"
"Aku paham, aku sangat mengerti kalau aku hanya sekedar pengganti, keinginanku hanya ingin istirahat sebentar, Arkan. Aku bukan bermaksud melawan atau membangkang, aku hanya tidak bernafsu makan saja."
Mata Laura mulai berkaca-kaca terhadap perlakuan Arkan yang sangat kasar. Arkan menaruh makanan yang dia berikan tadi pada Laura di meja, kemudian Arkan mulai menjatuhkan ciuman di bibir Laura.
"Kamu tidak mau makan rupanya?!"
Ciuman brutal yang semakin menjadi setiap kali Laura memberontak. Arkan menekan tengkuk Laura sampai ciumannya benar-benar dalam tidak memiliki celah sedikitpun diantara tubuh mereka.
Arkan mulai menggerayangi tubuh Laura sambil mengingat malam pertama mereka, rasanya Arkan semakin bernafsu karena dia adalah pria pertama untuk Laura, ciumannya melunak seakan membimbing Laura yang baru pertama kali.
"Arkan, maafkan aku. Aku akan makan," ujar Laura yang gemetar.
Arkan tersenyum melihat ketakutan Laura, Arkan menjatuhkan ciuman di kening agak lama, kemudian ciumannya beralih ke pipi Laura yang basah dengan air mata.
"Kamu harus mengerti, Laura ... kamu tidak ada bedanya dengan wanita di luar sana yang menjual dirinya, hanya saja kamu dibalut dengan status pernikahan dan aku menghargaimu jauh lebih mahal dari wanita-wanita itu," gertak Arkan berbisik di telinga Laura.
Laura yang tadinya gemetar ketakutan sekarang merasa sangat sakit hati dengan perkataan Arkan barusan, itu sama saja Arkan menganggapnya sebagai p*****r yang menjual dirinya.
Arkan mulai menciumi Laura lagi, kali ini Arkan memulai sentuhan kecil yang membuat Laura merasa risih karena Arkan sekarang sedang menindihnya di ranjang rumah sakit.
"Arkan, hentikan, aku mohon ... aku akan makan," pinta Laura yang menangis tergugu karena Arkan terus saja memaksa.
"Aku berpikir lain, tidak perlu makan, layani aku lebih dulu. Bukankah itu tugas seorang istri?" Arkan menampilkan seringainya.
"Tidak, Arkan. Ini rumah sakit, aku tidak bisa, aku tidak mau. Aku mohon lepaskan aku," mohon Laura dengan sangat.
Arkan seperti tuli tidak mendengarkan Laura, dia terus menjelajahi tubuh Laura, tangannya merasakan sensasi terjepit di antara belahan kancing, sedangkan Laura hanya bisa pasrah.
Arkan mengalihkan pandangannya ke arah wajah Laura, terlihat begitu pasrah dan tangisannya begitu pilu sampai membuat dia tersedu-sedu, saat itu juga nafsu Arkan jadi luntur dan tidak berminat untuk melanjutkannya.
Arkan menarik tangannya kembali dan turun dari ranjang, kemudian dia menaruh makanan di depan Laura. Laura yang masih menangis menghapus air matanya sendiri sambil gemetar ketakutan melihat ke arah Arkan.
"Aku ingin berbuat baik padamu Laura, jadi jangan buat aku marah dan kebaikanku jadi habis karena kamu tidak menurutiku!" gertak Arkan.
"Aku minta maaf ...," lirih Laura.
Arkan menghela napas lelahnya, dia sudah sangat bosan mendengar Laura meminta maaf padanya.
"Apa yang kamu bisa selain minta maaf? Kamu tidak berguna jadi istri, hanya melayaniku saja kamu sampai menangis begini, mengerjakan pekerjaan rumah pun tidak perlu karena aku punya pembantu di rumah," keluh Arkan.
Laura jadi semakin sedih mendapat cercaan dari Arkan, seakan dirinya tidak berguna dalam hal apa pun, Laura jadi merasa rendah diri karena Arkan pasti orang yang jauh lebih dari Laura.
"Aku minta maaf jika aku selalu membuatmu marah dan tidak berguna. Aku akan melayanimu sebagai istri di tempat dan waktu yang tepat, tapi tidak di sini. Kamu juga bisa tidak menyewa jasa pembantu karena aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, aku tidak akan memintamu memperlakukan aku sebagai istrimu, tapi aku mohon perlakukan aku seperti manusia," ungkap Laura.
Ungkapan dari Laura menyentuh hati Arkan yang mendengarkan, seakan ada satu jarum yang tertanam di sana dan menyebarkan rasa sakit yang Laura rasakan agar bisa berbagi dengan Arkan.
Arkan melupakan satu hal, kalau Laura hanyalah pengganti Bianca, bukan Bianca yang sesungguhnya, yang suka tantangan dan penuh keceriaan. Laura adalah wanita yang murung dan tidak bisa dikasari sedikit saja.
"Baiklah, aku akan memperlakukanmu seperti manusia seperti permintaanmu. Tidak perlu menggunakan air mata hanya untuk mengungkapkan keinginanmu itu, aku sangat membenci wanita yang cengeng!" balas Arkan.
"Terima kasih ...," lirih Laura.
"Aku tidak hanya akan berkata saja, tapi aku berjanji akan menepatinya, kau juga harus menepati perkataanmu yang mengatakan akan melayaniku sebagai istri, kita memang tidak saling mencintai, tapi aku berhak mendapatkan hakku sebagai suamimu dan pernikahan kita sah di mata hukum," jelas Arkan.
"Aku juga akan berjanji seperti yang aku katakan barusan," ujar Laura.
"Jaga kondisimu baik-baik karena aku tidak ingin menghabiskan masa bulan maduku di rumah sakit, kata dokter jika keadaanmu membaik besok sudah boleh keluar. Stamina tubuhmu juga buruk maka dari itu aku membuang pil pencegah kehamilan yang kamu taruh di dalam koper," ungkap Arkan.
Laura yang ingin menyuap makanan ke mulutnya jadi tidak melanjutkan, dia menaruh sendoknya kembali ke dalam mangkuk. Pil pencegah kehamilan yang Johan berikan padanya karena tidak ingin Laura hamil anak Arkan sudah dibuang oleh Arkan sendiri.
"Apa? Kenapa dibuang? Apa kamu tahu obat apa itu? Bagaimana nanti kalau aku hamil?" Laura menatap Arkan tidak percaya.
"Kenapa memangnya? Bukankah lumrah bagi pasangan yang sudah menikah memiliki anak?" tanya Arkan balik.
"Memang itu hal biasa, tapi ... aku tidak mungkin mengandung anakmu karena aku hanya pengganti dan kita tidak saling mencintai satu sama lain, bagaimana dengan anak yang lahir nanti? Aku tidak tahu harus bagaimana jika suatu saat ada bayi yang lahir dari pernikahan ini, pasti anak itu akan sengsara."
Laura menjelaskan pada Arkan bagaimana ketakutannya jika seorang anak lahir dari pernikahan mereka berdua yang tidak saling mencintai.
Dia bukan tidak mau melahirkan seorang anak, tapi Laura memikirkan bagaimana nasib anaknya nanti jika saja hubungan mereka suatu saat hancur karena kedatangan Bianca kembali, pasti Arkan akan memilih Bianca ketimbang Laura dan anaknya.
"Lalu? Apa kamu melihat aku peduli?" Arkan terkekeh mendengar ungkapan Laura.
"Arkan, aku tidak ingin mempunyai seorang anak dari pernikahan ini, aku tidak mau anakku menderita karena orang tua yang tidak saling mencintai," jelas Laura lebih lanjut.
"Kau benar, jika suatu saat ada wanita yang lebih darimu atau Bianca kembali, aku akan lebih memilih meninggalkanmu dan anak kita tanpa melihat ke belakang lagi, jadi pikirkan sendiri bagaimana caranya agar kita tidak punya anak."