Rania duduk di sofa, menatap jendela dengan pandangan kosong. Koper yang ia bawa lima hari lalu masih ada di sampingnya, seolah menjadi simbol jarak antara dirinya dan kehidupan lamanya. Telepon berdering berturut-turut, dari Papa, Mama, Nayla bahkan Gibran. Nama terakhir membuat dadanya sesak, tapi ia tidak mengangkat. Ia tahu, meskipun nada mereka terdengar penuh kekhawatiran, semua itu hanyalah cara mereka menekan dan mengatur hidupnya, seperti yang selalu mereka lakukan sejak kecil. Rania sempat mengangkat telpon dari orang tuanya sebelumnya. Papa dan Mama bertanya tentang keberadaannya, suara mereka menahan kekhawatiran sekaligus nada menuntut. “Rania, di mana kamu? Gibran ke rumah mencari kamu. Katanya kamu berhenti kerja, kenapa? Kamu membuat masalah? Jujur, Nak.” Suara Mama terden

