Suara langkah sepatu bergema di lantai marmer ketika pintu ruang CEO terbuka. Gibran masuk dengan wibawanya yang khas. Tubuh tegap, jas abu-abu elegan, wajah serius. Kehadirannya selalu menciptakan atmosfer berbeda. Semua karyawan yang kebetulan melintas spontan menunduk sopan, lalu kembali pada pekerjaan masing-masing. Di meja sekretaris, Rania baru saja menyalakan komputer. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang saat melihat Gibran muncul. Wajahnya berusaha netral, seolah tak terjadi apa-apa. Padahal semalaman ia dilanda kegelisahan soal Tirto. “Pagi,” suara Gibran dalam, tenang, tapi ada sedikit berat di ujungnya. Rania menoleh cepat. “Selamat pagi, Pak,” jawabnya singkat, menundukkan kepala, lalu pura-pura sibuk membuka dokumen di mejanya. Gibran menatapnya sekilas, seperti ingi

