Arga berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang muram. Di tangannya segelas wine merah, mengguratkan warna darah di bawah cahaya lampu kota. Ia memutar gelas itu perlahan, lalu tersenyum kecil—senyum yang dingin dan penuh perhitungan. Suara dering ponsel memecah keheningan. Nama di layar: Dimas Ariawan, pamannya, sekaligus mantan direktur keuangan yang dulu disingkirkan Mahardika. “Sudah sejauh mana, Arga?” suara di seberang terdengar berat dan berkarat oleh usia. “Cukup jauh,” jawab Arga datar. “Keluarga Mahardika mulai mempercayaiku. Mahardika bahkan menawari kerja sama investasi. Dan Rania…” Ia terdiam sejenak, meneguk sedikit wine-nya sebelum melanjutkan, “…Rania mulai melihatku sebagai tempat bersandar.” “Bagus.” Dimas tertawa rendah. “Kau tahu apa yang harus kau l

