Kehangatan melingkupi telapak tangan Rea yang dingin kala dia mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.
Oh, ya ... suami.
Rea sudah jadi istri orang dan ini kenyataan yang berasa mimpi di siang bolong, meskipun siri.
Ubun-ubun Rea juga disentuh, diberikan doa. Hingga berikutnya, kening Rea dicium.
DICIUM, GIRLSSS!
ARGH.
Oke, oke. Maaf. Rea berlebihan, padahal itu bukan cium kening pertamanya. Jonathan pernah mencuri satu kiss kening di Rea dan ini kalau diingat-ingat Rea jadi menyesal.
But, yang Jayakarsa berikan pun sulit ditampik bahwa rasanya memang mendebarkan. Bukan karena sudah cinta, bukan karena sudah naksir Jayakarsa, melainkan label istri yang Rea emban setelah 33 tahun jadi single dan pernah dikecewakan saat yang seharusnya menikah dengan segera—di waktu lalu—itu menghadirkan desir hangat yang membuat Rea terbawa suasana.
Ngomong-ngomong, Rea jadi tahu rasanya dicium kening oleh lelaki bercambang. Ada sensasi nabrak semak belukarnya gitu, lho. Eh, apa, sih? Yeah ... begitu pokoknya.
Kini, Rea dan Jaya saling pandang. Tatapan pria itu turun ke bibir, Rea lekas mengalihkan atensinya. Dia juga menyelipkan helai rambut ke belakang telinga, refleks saja gitu. Sebuah gerakan kala Rea salah tingkah tanpa sadar.
Lagi pula ngapain coba langsung mandang-mandang bibir? Mau kokop?
"Oke, sekarang silakan tukar cincin sebagai simbolis."
Benar juga.
Cincin.
Apa Jayakarsa menyiapkan benda itu? Jangan bilang ... tidak? Selama ini tak ada bahasan soal cincin, misal tentang ukuran jari Rea atau—eh, ada!
Jaya mengeluarkan kotak beludru bentuk hati dari saku jasnya. Apa itu Yena yang siapkan?
Sepersekian detik kembali saling pandang. Kemudian Jaya meraih jemari Rea setelah dibukanya kotak cincin merah merona.
Ada kilau permata cantik yang Rea lihat, itu yang disebut berlian—Rea yakin. Jenis batunya bukan batu permata sembarangan.
Melihatnya, Rea mulai mengira-ngira harga. Lalu mengulas latar belakang Jayakarsa. Sejak membaca nama Atmaja di berkas awal, sebetulnya Rea mencurigai satu hal.
Oh, perlahan dimasukkannya cincin itu sampai mentok di ujung.
Pas.
Fix, ini pasti Yena yang mencarikan. Hebat, ukurannya tepat sasaran.
Gantian, Rea yang memasangkan cincin di jari manis Jayakarsa. By the way, jarinya betul-betul seperti jari milik bapak-bapak. Ya, memang Jaya ini seorang ayah, sih.
Rea jadi penasaran dengan sosok anaknya.
Detik di mana suara jepretan kamera nyaring terdengar. 'Cekrek, cekrek!' Macam itu. Dan saat Rea menoleh, ternyata ibu dengan android di tangan sedang memfoto Rea bersama suami.
Aduh, aduh.
Malu, ih.
Namun, Jayakarsa justru senyum ke arah kamera ibu. Membuat Rea ikutan berpose, dia bahkan menunjukkan cincin di jari manisnya.
Persis. Jaya juga melakukan hal serupa. Menyejajarkan dengan tangan Rea.
"Ih, bagus, bagus!" kata ibu, lalu ... 'CEKREK!' Bunyinya nyaring dengan volume full sudah pasti.
Yang lain tertawa.
Rea tak bisa menahan kekehan gelinya lagi.
Sudahlah, terserah ibu saja. Ibu sendiri tidak malu, jadi Rea bodoh amat.
Tentu, sepanjang acara tadi nikahannya direkam. Rea melihat kamera Panasonic LUMIX mengintai.
Dan sesudahnya, ibu mendatangkan lebih banyak sesuguhan. Kali ini masakan, yang pertama tadi camilan.
Bu Narsih membantu. Ada berbakul-bakul nasi, lalu dua tampah ayam goreng serundeng—tadinya mau dibekakak, tetapi Rea menyarankan dipotong-potong saja. Baik bakul dan tampah itu sudah dialasi daun pisang.
Tak lupa rendang sebagai makanan mahal di Banyuliang pun disajikan. Triple kill dengan menu gurame asam manis.
Ini ibu semua yang menentukan menunya, menolak saran Rea supaya 'nyambung' antara menu satu ke menu yang lain.
Maklumi saja, ya. Ibu Rea ini tipikal sekarepe dewek kalau kata orang Jawanya, sih.
Kemudian sayur sup, tahu-tempe, sambal, hingga lalapan dikeluarkan.
Dahlah.
Air minumnya teh tawar hangat dalam ceret enamel brilik jadul warisan nenek moyang. Ada air putih juga di teko.
Rea sampai melihat ada yang menunjuk ceretnya, lalu tertawa, bahkan difoto. Apa sudah termasuk barang antik?
"Lho, Re ... kok, duduknya di sebelah Ibu? Sana, hush-hush! Duduk di samping suamimu, dong."
"Itu udah ada Aryo, Bu."
"Ya, tuker," timpal ibu. "Yo, sini! Kamu juga ngapain di situ? Tempat kakakmu, lho, itu, Yo. Sini, sini!"
Perkara tempat duduk saja repot.
Alhasil, Rea di sini. Pindah ke dekat Jayakarsa.
Aduh.
Kenapa Rea deg-degan, ya? Tapi yakin banget ini bukan karena cinta. Makin deg-degan saat dilirik suaminya. Macam ada efek getaran-getaran halus gitu, lho.
"Kamu nggak makan?"
Gila, sih.
Suaranya ngebas banget kalau nada rendah. Bikin Rea merasakan gelenyar tidak lazim saja di tubuhnya.
"Ini mau." Rea ambil piring. "Oh, ya. Mas nggak pake sayur?"
"Boleh kalau kamu mau ngambilin," jawabnya.
Idih, idih. Mentang-mentang sudah jadi suami, ya? Mulai mereguk enaknya. Tapi memang ini karena letak sayurnya jauh dari Jaya, sih. Dan lelaki itu memilih untuk tidak repot-repot mengambilnya walau ingin.
Ya sudah. Rea ambilkan.
Di seberang sana, ibu pasang kamera ponsel lagi dan 'CEKREK', memotret Rea.
Yakin seratus persen tanpa diskon, habis ini status WA ibu bakal panjang sampai bertitik-titik.
Ya Allah.
Punya ibu gini amat.
Eh, Astagfirullah. Masih baik Rea punya ibu.
"Suapin, Re! Masmu suapin, ayo! Ibu fotoin dari sini."
Tuh, kan.
Mau bersyukur juga gimana.
***
Selesai acara, satu per satu tamu bubar. Jayakarsa ditinggal. Ya, jelas. Rumah Rea jadi rumah lelaki itu juga sekarang.
Kalian tahu?
Di rumah tetangga entah sejak kapan ramai, tampak sedang ngerujak di teras. Baru kali ini rurujakan hingga ibu-ibu dusun sebelah ikut gabung. Tapi tidak Rea pedulikan.
Pak ustaz, kepala desa, dan pak RT juga berpamitan. Ibu berterima kasih. Di sini ibu jadi yang paling antusias, padahal tadinya tampak menentang Rea nikah siri.
Gimana, sih!
Jaya juga bersalaman dengan mereka. Tampak begitu ramah.
Lepas itu ... ibu disapa dan diajak ngerujak di rumah tetangga—rumah mama Jonathan.
"Oh, iya, makasih! Tapi sekarang saya lagi punya hajat. Nanti, ya? Kapan-kapan. Mau rembukin resepsi—oh, iya! Ibu-Ibu, kenalin, nih!"
Mampus.
Ibu menggaet lengan Jayakarsa dan dipertunjukkan sosok tinggi besar kebanggaannya kepada mereka.
"Mantu saya." Sambil menepuk-nepuk lengan Jaya. "Suaminya Rea, nih."
Rea maluuu banget, Gustiii!
Argh!
Apa kabar Jayakarsa, ya?
Tapi, kok, cowok itu tampak membalas ramah dengan senyuman.
"Lho, kapan nikahnya? Kok, nggak undang-undang?" celetuk mama Jonathan. "Eh, yang tadi ada pak ustaz sama kades dan pak RT itu, ya? Lho, lho, Rea nikah siri?"
Ditekankan dua kata 'nikah siri.'
Tuh, kan, jadi panjang.
Rea dengar ibu membalas, "Ditunggu aja, ya, undangannya! Makanya ini gak bisa rujak-rujakan, mau berembuk pesta besar. Tenang, semua pasti diundang!"
Tangan Rea sampai dingin, dia meraih kelingking Jayakarsa.
Nggak kuat.
"Ih, tapi, kok, nikah siri, ya? Udah hamil duluan apa gimana, tuh, Re—eh, maaf!" Mama Jonathan sama julidnya.
Ibu pasti terbakar.
"Bu, udah, Bu," ucap Rea.
Jaya juga sempat menoleh pada jemari yang Rea pegang itu.
"Udah, yuk, masuk? Mas Jaya mau dinas," bujuk Rea.
"Ish, bentar!" Ibu keras kepala.
Memang ibu-ibu di teras rumah tetangga sedang gaduh membahas Rea dan nikah siri itu.
"Eh, Mama Nathan! Kalo ternyata nggak bener, ente siap bisulan sebokong-b****g, ya!" kata ibu.
"Ya, kalo nggak bener, terus kenapa nikah siri? Kecuali hamil atau ... laki orang." Mama Nathannya juga, nih. Zalim!
"Sudah, Bu," sela Jaya, menyergah ibu mertua yang hendak nyap-nyap. Sudah buka mulut mau membalas omongan orang itu malah, tetapi Jaya halau. "Tidak perlu dijelaskan. Kalau mereka yang salah, kan, nanti juga bisul."
Rea yang semula mau terkagum-kagum dengan omongan Jayakarsa karena terdengar akan mengeluarkan kata-kata hikmah seindah milik Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: 'Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak akan percaya itu.' Kenapa jadi malah ikut-ikutan ibu dengan membawa-bawa bisul?
"Yuk, masuk," imbuh Jaya.
Meski demikian, ibu manut. Rupanya ampuh juga.
Ini Jayakarsa menyesal tidak, ya, sudah meneruskan ajang berpartner dengan Rea? Rea, kan, sepaket dengan ibu yang semacam Nyonya Santi bentukannya. Bukannya apa, tetapi ibu Rea itu ... ya, pahamlah!
Sekarang saja ibu bersungut-sungut mengatai tetangga.
Rea jadi merasa tidak enak kepada mas suami.
Di dalam, Aryo malah nambah makan.
Fix, cuma Rea yang normal ini, sih.
"Oh, ya. Jam berapa berangkatnya, Mas?" Tak mau menggubris Aryo, Rea ambil fokus suami dengan bertanya hal ini.
"Habis zuhur. Ayo kamu beres-beres," timpal Jaya.
"Eh, secepet itu, Nak Jaya?" timbrung ibu.
Di tempatnya, Aryo memperhatikan sang kakak ipar plus kakak kandungnya. Paling utama di bagian perut, Aryo menerka-nerka perut Rea. Tak ada janinnya, kan?
"Iya, Bu. Jadwal penerbangannya sudah ditentukan." Jaya bersikap santai dan biasa saja biasa.
Ibu tampak sedih.
Aneh, deh. Menurut Rea aneh.
"Biasanya juga Rea tinggal kerja sampe tiga tahun gak pulang, Ibu nggak semanyun ini, kok. Kenapa sekarang beda?"
Auto kena tabok oleh ibu. Rea meringis. Padahal yang Rea ucapkan itu fakta. Selama Rea merantau, ibu tidak terkesan sedih, hanya merengek saja terus-menerus minta Rea pulang bawa jodoh.
"Ya, jelas beda! Apalagi kamu udah bawain Ibu mantu," katanya. "Oke, deh. Kalian hati-hati di perjalanan, kabarin Ibu. Di sini Ibu doain semoga pulangnya nanti bertiga."
Lha?
"Bertiga?" beo Rea.
"Iya, bertiga sama cucu Ibu."
Astagfirullah. Astagfirullah.
"Ibu nanti mobilnya mau dijualkan atau mau disiapkan sopir saja?" Jaya mengalihkan bahasan.
Syukurlah, Rea selamat dari persoalan cucu. Takutnya mulai dari cucu, lalu merembet ke nikahan resmi dan resepsi. Bingung jawabnya, kan, nanti.
"Oh, iya. Disiapkan sopir aja, deh. Ibu sering ke pasar soalnya. Terus nanti boleh sekalian sama disiapkan garasinya, nggak, Nak? Di depan aja, kasih pagar keliling sama diatapin biar nggak kehujanan."
"Ibu, ih!" tegur Rea.
Jayakarsa malah terkekeh. "Boleh. Hubungi tukangnya saja nanti soal biaya dan lain halnya bilang ke Rea."
Lho?
Maksudnya Rea yang bayar?
Lagi pula kenapa boleh, sih? Kan, biar ibu jual saja mobilnya, lalu kaya raya tanpa perlu Rea kirimi uang.
"Nanti saya kasih uangnya ke Rea. Rea yang atur," imbuh lelaki bersemak belukar di wajahnya yang aduhai itu.
"Oke, deh. Makasih, ya, Nak Jaya." Ibu lalu melirik Rea. "Kamu jangan korupsi!"
Ada-ada saja memang Nyonya Santi yang tidak budiman ini.
Rea mengerling dan pamit ke kamar, mau beres-beres. "Mas, mau istirahat dulu, nggak? Barangkali sambil nunggu aku berkemas."
"Tentu."
Dasar kaku!
Melewati Aryo, ada anggukan di kepala adik Rea. Macam anggukan mempersilakan gitu, lho, dari orang lewat yang seolah habis bilang 'punten.'
Maka sekarang tibalah di depan kamar Rea. Dia merinding dengan hawa yang terasa agak horor. Di belakangnya ada duda—eh, suami.
Dan di tempatnya, ibu Rea memperhatikan. Kalian tahu? Sejak melihat akta cerai sang menantu, dia agak kaget dengan umur Jayakarsa.
Dari tampang dan body memang tidak kelihatan empat puluh tujuh tahunan, sih. Masih cocok kalau Rea gembar-gembor umur Jaya tiga puluh sembilan juga. Cuma ... dihitung-hitung hanya beda sebelas tahun dengan dirinya sebagai ibu Rea.
Agak mempertanyakan selera sang putri. Mungkin memang Rea sukanya yang tua-tua, kali. Ukuran umur Rea yang tiga puluh tiga, kan, usia Jaya kejauhan jaraknya.
Empat belas tahun.
Jauh, kan?
Tapi, yeah ... selagi dompetnya tebal, umur bisa dibicarakan. Toh, Reanya suka.
Begitu isi kepala ibu Rea tercinta.
Dan di sini, Rea berdeham. "Maaf, ya, Mas."
Sudah Rea tutup pintu kamarnya. Bersitatap dengan Jayakarsa yang sedang menyisir ruang tidur Rea.
"Mas pasti nyesel udah sampai ke titik ini."
Benar, Jaya duduki tepi ranjang Rea. "Jadi, mau sekarang lima belas menit di sini atau bebas durasi di hotel?"
H-hah?
***