Rumah tetangga ramai, bahkan pak kepala desa dan RT setempat tampak bertandang ke sana, Jonathan melihat dari jendela rumahnya.
"Ada acara apa, sih, Ma, di sebelah?" Seketika gatal ingin tahu jawabannya maka Jonathan bertanya.
Sejak rombongan mobil dan orang-orang yang keluar dari dalam sana disambut girang oleh Bu Santi, Jonathan dilanda penasaran.
Sebenarnya, sejak melihat Rea di teras pagi tadi, Jonathan sudah diserbu kepo. Soalnya, kan, Realine selama nyaris empat tahun full ini tidak pernah kelihatan lagi di Banyuliang.
Well, Jonathan hampir tidak mengenali putri tetangga. Rea yang dulu benar-benar kacau—maaf—jelek.
"Kalo yang sekarang ini Mama nggak tahu, ya, Nat. Tapi kemarin Rea datang bawa calon suaminya, kata Bu Santi. Kamu belum denger, toh, Nat?"
Jonathan geleng-geleng. "Wow. Baru denger sekarang."
Akhirnya mau melepas lajang jugakah? Jonathan kira Rea akan memilih hidup selibat setelah hari itu, Rea bahkan menolak tawaran Jonathan untuk dikenalkan kepada kawan kantornya.
"Iya, sih. Kamu, kan, nggak cinta juga sama si Rea dari dulu. Wajarlah gak berusaha nyari tahu walau udah baca status Mama."
Jonathan bahkan cuma mengklik-klik asal status orang tanpa dia baca. Dan Jonathan tidak menyimpan kontak dari siapa pun tetangga sebelah. Bu Santi memblokirnya, Rea pun sepertinya menghapus nomor Jonathan.
Yeah ... bisa dimaklum.
Jonathan menatap rumah Rea, masih stay di sofa dekat jendela.
Sementara yang di sana ....
"Asalamualaikum."
Pak ustaznya datang, menyusul kehadiran pak RT dan pak kades.
Serempak orang-orang di dalam rumah Rea menjawabi salam itu.
Benar-benar ramai di sini.
Dua saksi laki-laki sudah dihadirkan, yakni pak kades dan pak RT. Hanya tinggal menunggu adik Rea saja selaku wali yang akan menikahkannya dengan pria matang empat puluh tahun itu.
Atmosfer dan situasi yang ada bahkan membuat Rea tidak menitikkan fokus pada kejanggalan di akta cerai Jayakarsa beberapa saat lalu.
Ralat, aktanya tidak janggal. Yang janggal adalah usia Jaya di mana bila Rea peka ke arah sana, perhitungannya bukan beda tujuh tahun dengan usia Rea, tetapi dua kali lipat dari itu.
Rea hanya melihat umur Jaya saat bercerai tanpa melirik tahun akta itu diterbitkan. Malah fokus pada 'semuda apa Jayakarsa ketika berpisah dengan istrinya.'
"Kenapa nikah siri, Mas?" Pak kades menanyai calon suami dari salah satu warganya.
Rea melirik Jayakarsa yang menjawab, "Karena saya ada urusan pekerjaan ke luar negeri siang ini dan ingin membawa Realine. Untuk mempersiapkan pernikahan di KUA, temponya, kan, tidak bisa sesingkat itu. Yang penting direkam, pulang dari sana bisa didaftarkan."
Jawabannya terdengar sangat bisa dipercaya, padahal itu karangan. Dan lagi, ini penjelasan yang kedua. Membuat ibu jadi lebih bisa percaya tampaknya. Karena isi ucapan Jaya tidak ada beda dengan yang pertama.
Bahkan saat akhirnya adik Rea datang pun, jawaban Jaya terkait 'kenapa nikah siri' masih sama.
"Apa? Nikah?"
Lihat itu tampang adik Rea, begitu terkejut mendengar ucapan ibu yang berisi, "Langsung duduk aja, Yo. Nikahkan kakakmu sama si mas-mas itu. Oh, ya, gih, kenalan dulu. Mas Jaya."
Jaya menjulurkan tangannya, adik Rea yang disebut 'Yo' itu tak langsung menjabat, tetapi akhirnya saling bersalaman. Berkenalan.
"Jayakarsa, calon suami kakakmu."
"Aryo," jawabnya. "Adik Kak Rea."
Adegan itu ditonton seluruh mata, termasuk milik pak ustaz.
Aryo dipersilakan duduk di tempat yang sudah disediakan.
"Ini serius nikah?" celetuknya. "Kak?" Menatap Realine.
"Iya, serius, Yo."
Rea mendapati ada banyak sekali hal yang tampaknya ingin diucapkan sang adik. Dari matanya itu terpampang jelas. Berdasarkan tebakan Rea, Aryo sepertinya mau bilang: 'Ini kebablasan hamil duluan apa gimana, Kak?'
Atau begini: 'Jangan bilang ini hasil melakorin laki orang?'
Karena situasi sejelas itu menunjukkan bahwa pernikahan yang dimaksud adalah nikah siri.
Terbukti dari pertanyaan Aryo kepada Jayakarsa yang berbunyi, "Kenapa nikah siri, Mas?"
Persis macam pertanyaan pak kades tadi. Dan Jayakarsa menjawab hal serupa.
"Calon suami kakakmu bukan laki orang, kok, Yo. Ibu udah lihat akta cerainya tadi."
Oke, sip. Ibu bersuara dan tampaknya mulai pro ke nikahan Rea.
"Lagi pula maharnya dua miliar, Yo, bukti keseriusan Nak Jaya ke kakakmu."
Bagus, bagus!
Sampai ditekan kata 'dua miliarnya' pula sama ibu. Dan wanita yang sudah melahirkan Rea ke dunia di tiga puluh tiga tahun lalu itu berucap, "Mereka nikah siri gini karena gak sabar aja pengin bulan madu sekalian dinas di luar negeri. Oh, ya, direkam juga. Pulang dari sana mau langsung didaftarin katanya, Yo."
Betul!
Walau itu kebohongan dari para mempelai.
Rea jadi penasaran, bagaimana nanti Jayakarsa mempertanggungjawabkan karangannya itu; terkait daftar nikah di KUA sepulang dari dinasnya.
"Jadi ... bisa kita mulai akadnya?" ucap Jaya, dia melihat jam tangan. "Waktu saya nggak banyak dan saya bener-bener ingin sudah ada istri saat dinas ke sana."
Bisa-bisanya itu cowok said demikian.
Dan keluarga abal-abal Jaya terkekeh menanggapinya. Sekarang Rea tahu apa fungsi mereka.
"Maafin anak saya, ya, Bu, ya? Saya juga kaget pas semalam Jaya bilang pengin nikah, tapi nikah siri dulu."
Mereka berperan untuk memperkuat karangan Jaya hingga seolah lebih bisa dipercaya 'lebih-lebih' lagi.
Itu tadi nenek-nenek yang bertutur. Yeah ... cocok perannya. Sebagai ibu bagi Jayakarsa.
Sekarang ibu Rea tertawa dengan ramahnya, bahkan sambil menepuk akrab paha nenek tersebut.
"Aduh, Bu ... beneran, lho, kaget banget. Tapi okelah, sekarang saya udah bisa ngerti. Yang penting sepulang dinas nanti, langsung didaftarin, lho, Nak Jaya," kata ibu.
Jayakarsa angguki. "Tentu."
"Baik, kita mulai sekarang?" seloroh pak ustaz.
***
Formasi dibuat. Jaya duduk di hadapan ustaz, yang mana sebelah ustaz tersebut ada Aryo—adik sekaligus wali Realine. Karena sang ayah sudah lama putus hubungan dengan keluarga ini.
Para saksi sudah standby. Dan itu berarti seluruh rukun nikahnya sudah terpenuhi. Ada calon istri dan calon suami.
Pertama-tama, dipastikan bahwa keduanya beragama Islam.
Jaya sempat menyerahkan KTP kepada pak ustaz, dan saat itu Rea beranjak mengambil miliknya di kamar. Barangkali butuh juga sekali pun nikah siri, meski begitu KTP bukan hal wajib.
Jaya mengantongi KTP-nya di detik Rea kembali.
"Realine Anjani," beo sang ustaz. "Nama ayahnya siapa, Re?"
"Nino Alessandro, Pak." Rea alih ke ibu. "Bener, kan, Bu?"
"Iya, itu."
Pak ustaz manggut-manggut. KTP Rea pun dikembalikan.
"Maharnya mana, Mas?" tanya pak ustaz lagi.
Ibu Rea yang maju, meletakkan kunci mobil dua miliarnya di situ seraya bilang, "Kisaran satu sampe dua miliar, Pak."
Ya Allah.
Rea yang malu. Ibu, sih, kelihatan bangga.
Ampun, ampuuun!
Dikoreksi oleh Jayakarsa agar bisa lebih pasti saat disebut dalam ijab kabul. Katanya, "Satu unit mobil Mercedes Benz S-Class edisi tahun dua ribu dua puluh dua, Pak."
Ibu Rea yang paling senang mendengar mahar itu disebut. Beuh! Kembang-kempis, deh, tuh, hidung ibu.
"Ini mobilnya ada di sini, kan, ya?"
"Adalah, Pak. Calon mantuku ke sini pake mobil itu. Tuh, yang hitam bening mobilnya! Kelihatan, kok, dari sini."
Demi apa pun, Rea yang malu part sekian oleh keantusiasan ibunya. Apalagi saat menunjuk mobil elite Jayakarsa.
Argh!
Pasti ada yang menertawakan ibu, kan? Rea memunggungi para hadirin si keluarga abal-abal Jayakarsa soalnya, jadi tidak tahu.
Di sana, pak RT dan pak kades kepalanya sampai melongok-longok gitu, leher seolah memanjang demi bisa melihat mobil yang dimaksud.
Jaya tekan tombol alarm mobilnya dan bunyi 'bip-bip' memperjelas kendaraan yang dimaksud.
"Baik," ucap pak ustaz. "Karena kalau mahar, kan, barangnya harus ada di sini, ya. Nggak bisa kalau gaib. Meski ada kuncinya, mobilnya tetap harus dipastikan ikut parkir juga di tempat yang bisa kami lihat."
Bisa dipahami.
Aryo, si adik Rea itu, dari tadi geleng-geleng terus entah kenapa. Heran, tak habis pikir, atau ... entah, deh.
"Wali, siap?"
Nah, lho!
Rea menatap Aryo di depannya.
"Siap, Pak. Dan silakan diwakilkan sama Pak Ustaz aja ijab kabulnya."
Syukurlah, biar fast.
Tapi untuk sesaat, Aryo dipandu ucapannya oleh pak ustaz untuk nanti mengatakan tawkil wali—kalimat mewakilkan wali—dari wali yang bukan ayah kandung kepada ustaz selaku sosok yang ditunjuk.
Eh, kok, Rea yang deg-degan?
Ini menit-menit ke depan statusnya sudah bukan lajang lagi, kan? Lalu beberapa jam ke depan, mungkin Rea sudah lepas perawan?
Pertemuan dengan Yena rasanya baru kemarin, tetapi ... benar-benar tak terasa sudah sampai di titik sejauh ini.
"Oh, iya. Nama bapak Masnya siapa? Eh, tolong dituliskan saja, Bu. Tadi nama ayah Rea dan ini nama bapak Masnya. Tolong, ya?"
Ibu gegas ambil pena dan kertas. Rea yang tulis, nama ayahnya adalah Nino Alessandro dan ....
Jaya sebutkan nama ayahnya, "Zero Wirasana Atmaja."
Sip.
Rea serahkan kertas itu kepada pak ustaz. Dibaca-baca beberapa kali sebelum akhirnya dimulai.
Ya Allah! Rea deg-degan pol ini, tepat di detik sang adik berucap, "Pak Ustaz, saya mewakilkan kepada Bapak untuk menikahkan saudara perempuan saya Realine Anjani binti Nino Alessandro dengan Saudara Jayakarsa Atmaja dengan maskawin satu unit mobil Mercedes Benz S-Class keluaran tahun dua ribu dua puluh dua dibayar tunai."
"Saya terima perwalian Anda," timpal pak ustaz. Tangannya kini menjulur ke hadapan Jayakarsa, dengan sigap dijabat.
Rea menunduk, meremas jemari di saat ustaz berucap, "Saudara Jayakarsa Atmaja bin Zero Wirasana Atmaja, saya nikahkan dan saya kawinkan Saudara dengan Realine Anjani binti Nino Alessandro yang walinya telah mewakilkan kepada saya untuk menikahkannya dengan Saudara Jayakarsa Atmaja dengan maskawin satu unit mobil Mercedes Benz S-Class edisi tahun dua ribu dua puluh dua dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Realine Anjani binti Nino Alessandro dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
Fix, Rea lemas.
Tahu-tahu sudah ganti status tepat kala para saksi berseru, "SAH!"
***