12. Menjemputnya

1157 Kata
Clarie memandangi Caitlin dengan tatapan yang sulit diartikan, dia sama sekali tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Clarie sadar adiknya itu masih labil, bila dia memarahinya itu akan membuat remaja itu makin menentangnya. Jadi, dia mencoba untuk berbicara baik-baik pada adik tirinya itu. “Bagaimana sekolahmu?” tanya Clarie berusaha bersikap tenang. Caitlin yang sejak tadi menunduk langsung mendongakkan kepalanya ke arah Clarie, mungkin dia terkejut karena kakak tirinya itu tidak memarahinya. “Sekolahku? Baik saja,” balasnya kikuk. Clarie mengangguk pelan. “Apa laki-laki tadi pacarmu?” tanya Clarie hati-hati. Caitlin mengangguk. “Oh ...” Clarie ikut mengangguk kembali. Dia sama sekali tak percaya, adiknya itu baru berusia dua belas tahun dan sudah berani melakukan hubungan ... Ah! Clarie seakan tak bisa melanjutkan ucapannya. Dia pun tak suci, tetapi perbedaannya dia lebih dewasa dan lebih tahu mana yang pantas atau tidak. Sementara adiknya itu? “Caitlin dengar, aku sama sekali tidak melarangmu untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tapi, kalau aku boleh menyarankan kau tidak perlu sampai berbuat sejauh ini.” “Aku hanya penasaran,” ucap Caitlin polos. Untung saja tadi Clarie datang tepat waktu, bila tidak mungkin dia akan kecolongan. “Kudengar kau ingin kuliah di universitas?” “Apakah aku bisa?” tanyanya pesimis. “Tentu saja kau bisa melakukannya. Aku yang akan membiayai sekolahmu nanti,” ujar Clarie mencoba menyemangati adiknya. “Kau yakin?” tanya Caitlin dengan mata menyipit. Dia tak yakin dengan ucapan Clarie yang katanya akan membiayai sekolahnya, karena setahu dirinya kuliah itu membutuhkan uang yang sangat banyak. Sementara Clarie yang dia tau, jarang sekali memberi uang kepada ibunya, pernah tapi jarang. “Tentu saja! Asal, kau menuruti perkataanku.” “Apa itu?” Caitlin menatap Clarie dengan tatapan seakan meremehkan. “Kau tidak boleh berpacaran dulu. Lupakan soal lawan jenis, bila waktunya tiba kau juga akan merasakannya juga,” ucap Clarie menasehati. Entah adiknya itu akan paham atau tidak, dia berharap remaja itu menurut. “Um ... baiklah,” katanya setelah berpikir lama Membuat Clarie bernapas lega. Satu jam kemudian, Silvia pulang dan terkejut mendapati putri sulungnya berada di rumahnya sore itu. “Kau bekerja, Bu?” tanya Clarie. Saat ini mereka sedang berada di dapur memberesi belanjaan yang dibeli oleh Clarie tadi. “Aku harus bekerja, bila masih ingin makan. Lagi pula, Caitlin juga harus sekolah,” ujar ibunya dengan nada datar. Memang selama ini, Clarie tak banyak mengirim uang untuk keluarganya. Gajinya habis untuk membayar tagihan tempat tinggal dan kebutuhannya di kota. Mungkin untuk sekarang dia bisa membantu perekonomian keluarganya berkat bosnya. Ya, walau yang dia lakukan adalah tindakan tidak terpuji. “Apa ayah Caitlin sering pulang?” tanya Clarie hati-hati. Silvia melempar serbet ke meja dengan penuh kekesalan. Entah mengapa dia merasa kesal mengingat suami yang di nikahinya dua belas tahun lalu itu. “Apa itu?” tanya Clarie yang terkejut dengan respon ibunya. “Mungkin pria itu sudah mati!” katanya menyumpahi suaminya yang dulu selalu dibelanya. Clarie tidak akan memberitahu ibunya kalau suaminya sering datang ke flatnya meminta uang. Dia akan merahasiakan itu. “Sudahlah, lebih baik kalian tinggal berdua saja. Doakan aku agar mempunyai banyak uang dan kita bisa membeli rumah sederhana di NY, agar bisa tinggal bersama,” ucap Clarie mengutarakan niatnya. Itu, bila ibunya benar-benar sudah memutuskan berpisah dengan suaminya yang sekarang. Jika, belum Clarie tidak akan mau, dia sangat membenci pria itu. Clarie akan menginap satu malam di sini, dan dia akan ke stasiun pagi-pagi sekali untuk berangkat kerja. Malam ini dia akan tidur satu kamar bersama adik tirinya itu untuk pertama kalinya. Dia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai. Tak lama ponselnya berdering, Clarie melirik nama si pemanggil. Bibir atasnya melengkung indah ketika nama Lucas tertera di layar ponselnya, bergegas gadis itu mengangkat panggilan. “Halo?” sapanya pada Lucas. “Aku akan menjemputmu.” Clarie terkesiap mendengar perkataan Lucas, pasti pria itu sedang menginginkan dirinya saat ini juga. “Sir, maafkan aku,” katanya penuh penyesalan. “Ada apa?” tanya pria itu. Clarie bisa menebak pasti pria itu tengah mengerutkan keningnya atau menautkan alisnya. “Aku sedang tidak berada di flat-ku, tapi di rumah ibuku,” katanya memberitahu. “Berikan alamatnya!” titahnya tegas. 'Hah?! Yang benar saja?' Clarie langsung mengirimkan lokasi rumah ibunya pada bosnya itu dan langsung diterima Lucas. “Bersiaplah aku akan menjemputmu!” “Baik, kutunggu.” Sambungan telepon itu langsung terputus. Clarie tak percaya Lucas akan menjemputnya ke sini, saat ini juga. Apakah pria itu benar-benar sedang menginginkannya sehingga tidak bisa ditunda, atau bila dia ingin bukankah dia bisa mencari wanita lain yang mudah di jangkaunya. Oh, Bodohnya! Tentu saja Lucas akan mencarinya karena pria itu sudah membayar mahal dirinya. Lucas tidak mungkin menyia-nyiakan dirinya begitu saja. Malam itu, Clarie sudah berganti pakaian dengan setelan kerja yang dikenakannya semenjak pagi. Gadis itu menuruni tangga menuju ke ruang tamu, suara TV masih terdengar menyala di ruang santai dan adik tirinya masih di sana menyaksikan tayangan dari channel favoritnya. “Kau mau pergi?” tanya Silvia yang muncul dari arah dapur. Clarie menoleh ke arah suara ibunya. “Maaf, aku tidak jadi menginap, Bu,” ucapnya sedikit kaku. “Kau akan pulang, mau ku pesankan taksi untuk ke stasiun?” Silvia berjalan pelan ke arah putri sulungnya. “Tidak perlu, Bu. Temanku akan datang sebentar lagi.” “Oh, begitu.” Clarie mengeluarkan dompet dari dalam tasnya, dan mengambil beberapa lembar uang untuk ibunya. Kemudian dia menyerahkan lembaran uang itu pada Silvia. “Ambilah, Bu,” pintanya. “Ini uang yang banyak sekali, Clarie. Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Silvia ingin tau. “Apa ibu lupa kalau aku bekerja,” katanya memberitahu. “Ya, aku tau. Tapi ...” Sebuah suara klakson mobil terdengar di luar rumah Silvia. Buru-buru Clarie mengintip dari jendela dan benar dugaannya itu mobil milik Lucas. “Sudahlah, jangan dipikirkan, Bu. Aku minta kau menjaga Caitlin dengan baik dan perhatikan pergaulannya. Aku pergi dulu.” Clarie langsung bergerak menuju pintu dan membukanya. Selepas kepergian Clarie, Silvia mengintip dari jendela dan melihat putrinya itu masuk ke sebuah mobil mewah yang menunggunya di depan rumah. *** Saat ini Clarie berada di dalam mobil yang dikendarai oleh supir Lucas. Clarie duduk di kursi penumpang belakang bersama pria itu. Dia bodoh sekali memikirkan kalau Lucas sendiri yang akan menyetir menjemputnya ke sini. Lucas menekan tombol di sampingnya, seketika jendela yang menjadi pembatas antara supir pun tertutup. Mobil pria itu memang sekeren itu. “Kita tidak akan menyia-nyiakan waktu satu jam hanya untuk duduk menunggu sampai di apartemen, kan,” ucap Lucas yang langsung menarik tubuh Clarie naik ke pangkuannya. Clarie berjengit kaget dengan perbuatan Lucas. Lucas langsung melumat bibir Clarie ganas. Ciumannya sangat menuntut dan sama sekali tidak ada kelembutan. Untungnya Clarie selalu bisa menyamakan intensitas ciuman pria itu. Cecapan bibir keduanya terdengar bersamaan dengan deru mesin mobil. Lucas sudah sangat ingin memasuki Clarie, sehingga dia rela menjemput gadis itu di rumah ibunya. Dia tidak suka menunggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN