BAB 14

1010 Kata
Senja di Jakarta memang selalu penuh kejutan, dan kali ini Evana merasakan betul hal itu. Hari itu, sejak pagi wajahnya sudah kusut masai. Di kantor ia tidak bisa berkonsentrasi penuh. Banyak yang menduga ia sedang sakit, padahal kenyataannya pikirannya terlalu penuh dengan kegelisahan. Sejak pertemuan lamaran yang berakhir kacau, ditambah tekanan ibunya yang tak henti-henti, hidupnya serasa penuh benang kusut. Ia tidak tahu bagaimana harus menguraikan satu per satu. Begitu jam kerja usai, ia sebenarnya ingin segera pulang, tapi hatinya terasa berat. Biasanya ia bisa saja memesan ojek online untuk mempercepat perjalanan. Namun malam itu, entah kenapa ia malas. Rasanya ia ingin berjalan lebih lama, seperti ingin mengulur waktu agar tidak terlalu cepat sampai rumah. Jalanan di depan kantor sudah dipenuhi pekerja lain yang juga pulang. Lampu-lampu kendaraan berkelap-kelip, deru mesin bercampur klakson memenuhi udara. Evana melangkah pelan menuju halte terdekat dari kantornya. Hanya suara langkah kakinya yang menemani, sementara hatinya masih digelayuti resah. “Apa yang harus kulakukan sebenarnya…?” gumamnya pelan, seolah menanyakan pada dirinya sendiri. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di dekatnya. Suara rem yang halus membuatnya menoleh. Dari balik kemudi, seorang pria berbadan tegap turun. Dengan setelan kerja rapi, ia segera membuka pintu penumpang bagian belakang. “Silakan masuk, Nona,” ucap pria itu dengan suara rendah namun tegas. Evana terperanjat. Keningnya berkerut dalam-dalam. Ia tidak mengenal pria itu, bahkan merasa sedikit takut. Seketika instingnya menyuruhnya untuk berlari menjauh. Siapa tahu itu hanya modus penculikan atau kejahatan lain. Namun sebelum ia sempat melangkah mundur, sebuah suara memanggil namanya dari dalam mobil. “Ev, masuklah!” Suara itu… Evana tercekat. Ia mengenalnya. Ia segera mencondongkan tubuh, mengintip ke dalam kabin. Dan benar saja, sosok yang duduk di dalam adalah pria yang belakangan terus mengisi kepalanya—Elvano. Mata Evana melebar. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengannya di momen seperti ini. “Elvano?” bisiknya tak percaya. Tanpa menunggu jawaban, pria tegap yang berdiri di samping pintu memberi isyarat agar ia segera masuk. Dalam kebingungan yang melanda, Evana akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil. Pintu segera ditutup rapat, dan mobil itu melaju meninggalkan keramaian jalan. Suasana dalam mobil begitu hening. Hanya suara mesin yang terdengar. Evana duduk dengan tubuh kaku, kedua tangannya ia genggam erat di pangkuan. Sementara itu, Elvano duduk dengan wajah tenang, matanya menatap lurus ke depan. “Kenapa kau… ada di sini?” tanya Evana akhirnya, suaranya hampir bergetar. Namun Elvano tidak menjawab. Ia tetap diam, seakan terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Tatapan matanya dingin, membuat Evana semakin tak berani membuka mulut. “Ini mau ke mana?” tanyanya lagi, kali ini lebih pelan. Tetap tidak ada jawaban. Hanya ada desah napas berat yang terdengar samar dari pria di sampingnya. Evana semakin bingung. Hatinya berdebar tak karuan. Bagian dari dirinya ingin marah karena diabaikan, tapi bagian lain menyuruhnya tetap diam. Ia tidak tahu harus bersikap apa. Mobil terus melaju, menembus jalanan Jakarta yang kini penuh cahaya lampu. Gedung-gedung tinggi berjejer di kanan kiri, memantulkan bayangan malam yang gemerlap. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gedung mewah dengan papan nama bercahaya terang: La Belle Maison. Evana melongo. Ia tahu nama itu, meski hanya pernah mendengarnya dari media sosial atau majalah fashion. Salon dan pusat kecantikan yang hanya dikunjungi kalangan atas. Biaya sekali perawatan bisa setara dengan gajinya sebulan. "Ayo turun!" total Elvano menolehk kepala Evana. Gadis itu tengah dilanda kebingungan yang luar biasa. “Elvano… untuk apa kita ke sini?” tanyanya dengan suara tercekat. Pria itu menoleh sekilas, lalu bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa-apa, ia membuka pintu mobil, melangkah ke luar, lalu membukakan pintu untuk Evana. Dengan ragu, Evana turun. Begitu masuk ke dalam bangunan tersebut, suasana elegan langsung menyergap. Aroma parfum mahal, cahaya lampu temaram yang hangat, dan musik lembut mengalun. Para pegawai dengan seragam rapi segera menyambut. “Selamat malam, Mister Demian. Semua sudah kami siapkan,” ucap salah satu supervisor salon dengan penuh hormat. Evana terdiam. Mister Demian? Ia menoleh cepat ke arah Elvano, tapi pria itu hanya berjalan tanpa menoleh. Para pegawai segera mengarahkan Evana ke sebuah ruangan khusus. Kursi empuk, cermin besar dengan lampu-lampu di sekelilingnya, dan deretan produk kecantikan mewah terpampang. Seorang penata rias mendekat dengan senyum ramah. “Silakan duduk, Nona. Malam ini Anda akan mendapatkan perawatan istimewa.” Evana ingin bertanya lagi, ingin menolak bahkan, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia duduk, membiarkan beberapa orang mulai bekerja pada wajah dan rambutnya. Pertama, wajahnya dibersihkan dengan lembut. Krim harum menyentuh kulitnya, lalu masker tipis diaplikasikan. Evana menutup mata, mencoba menenangkan diri, meski pikirannya terus berkecamuk. Kenapa dia membawaku ke sini? Apa maksudnya semua ini? Kemudian rambutnya ditata. Sisir bergerak pelan, lalu alat pengeriting mulai membentuk gelombang indah. Sementara itu, seorang lagi mulai merapikan alis, mengaplikasikan make-up yang ringan namun menonjolkan fitur wajahnya. Evana memandang bayangannya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gadis sederhana yang biasanya pulang kerja dengan wajah lelah kini berubah menjadi sosok anggun dengan riasan sempurna. “Cantik sekali,” gumam salah satu penata rias tanpa sadar. Evana hanya bisa tersenyum canggung. Pipinya memerah, entah karena riasan atau rasa malu. Saat semua selesai, Elvano muncul kembali. Ia berdiri di pintu, menatap Evana dengan sorot mata sulit diartikan. Evana bangkit perlahan, tubuhnya kaku. “Kenapa… kau melakukan ini semua?” tanyanya, suaranya bergetar. Elvano hanya mendekat, menatapnya lebih dalam. Lalu, dengan suara rendah namun jelas, ia berkata, “Karena kita ada agenda makan malam keluarga.” Evana terdiam. Pikirannya sibuk berpikir. Keluarga siapa yang Elvano maksudkan? Apakah keluarga pria itu? Sebelum ia sempat bertanya lagi, Elvano sudah berbalik dan berjalan keluar. Pegawai salon segera memberi isyarat agar Evana mengikutinya. Dengan langkah ragu, ia pun melangkah, meninggalkan cermin yang masih memantulkan bayangan dirinya yang baru. Sebuah gaun mewah diberi pada Evana dan salah satu pegawai tersebut membantunya Evana untuk menukar bajunya. Malam itu, Evana merasa seperti sedang berada dalam mimpi. Segalanya terjadi begitu cepat, begitu asing, namun juga begitu nyata. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi satu hal jelas—hidupnya baru saja berubah arah. Dan semua berawal dari seorang pria bernama Elvano.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN