BAB 13

1112 Kata
Langit masih tampak kelabu, namun hiruk pikuk ibu kota seperti biasa tak pernah menunggu. Jalanan sudah padat oleh kendaraan yang berebut laju, klakson bersahut-sahutan, dan gedung-gedung tinggi yang seakan menantang awan. Di salah satu gedung pencakar langit bergaya modern, dengan dinding kaca hitam yang berkilau, berdiri sebuah perusahaan multinasional yang namanya sudah tak asing lagi: Moretti Group. Bagi sebagian besar pebisnis di Asia, nama itu identik dengan prestise, kekuatan finansial, dan kejayaan. Dan pagi ini, suasana di lantai paling atas, ruang kantor eksekutif, terasa jauh lebih tegang dari biasanya. Sebab hari ini sang pemilik sekaligus CEO kembali. Dialah Demian Moretti, atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan Mister Demian oleh karyawan-karyawannya. Tidak banyak yang tahu kisah hidupnya. Sebagian besar hanya mengenalnya sebagai pria berdarah campuran yang misterius, karismatik, sekaligus menakutkan. Semua laporan, kontrak, bahkan presentasi besar biasanya hanya ditangani langsung olehnya. Dan yang membuat banyak orang tak habis pikir, meski ia dikenal dingin dan tegas, perusahaan itu justru berkembang pesat di bawah kepemimpinannya. Jam dinding baru menunjuk pukul 08.00 ketika sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan lobi utama. Kaca jendela mobil itu tak bisa ditembus pandang, namun para satpam dan resepsionis yang berjaga langsung menegakkan tubuh mereka. Begitu pintu belakang terbuka, seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam sempurna keluar. Langkahnya mantap, wajahnya tegas, dan tatapan matanya dingin. “Mister Demian sudah datang,” bisik salah satu staf resepsionis pada rekannya. Semua orang yang kebetulan berada di lobi seakan menahan napas. Para karyawan wanita yang baru masuk kerja melirik sekilas, lalu buru-buru menunduk agar tidak ketahuan memandangi. Meski jelas terpukau, tak satu pun yang berani mendekat. Mereka tahu, pria itu bukan seseorang yang bisa diperlakukan sembarangan. Langkah Elvano menjejak lantai marmer dengan mantap. Ia hanya ditemani seorang pria berperawakan tegap—tangan kanannya yang selalu ada di sisi. Begitu masuk lift khusus eksekutif, suasana lobi kembali normal, meski ada beberapa karyawan yang masih membicarakannya dengan berbisik-bisik. Di lantai 30, ruang kerja CEO terlihat megah namun minimalis. d******i hitam, abu-abu, dan perak memberi kesan elegan sekaligus tegas. Sebuah meja besar dari kayu mahoni berdiri di dekat jendela kaca yang menghadap panorama kota Jakarta. Begitu masuk, Elvano melepas jasnya, menggantungnya dengan rapi, lalu duduk di kursi eksekutifnya. Sekretaris pribadi sekaligus orang yang ia percaya menghandle perusahaan ini, Rafael, segera memberikan tumpukan berkas. “Ini laporan minggu lalu, Tuan. Ada juga agenda rapat dengan investor Jepang pukul sepuluh.” Elvano hanya mengangguk sekilas. Tangannya langsung membuka halaman pertama laporan tanpa ragu, matanya menyapu cepat barisan angka, grafik, dan catatan analisis. Dalam waktu singkat, ia sudah menemukan dua kesalahan kecil dalam laporan tersebut. “Panggil kepala divisi finansial ke sini. Sekarang.” Suaranya datar, namun tajam. Rafael segera menunduk dan bergerak cepat. Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya masuk dengan wajah pucat. Ia jelas ketakutan. "Mister, apakah ada yang salah dengan laporan kami?” tanyanya dengan suara bergetar. Elvano mendongak perlahan, menatap pria itu dengan tatapan menusuk. “Bagaimana bisa selisih kecil ini tidak terdeteksi? Kau tahu berapa kerugian yang bisa timbul kalau angka ini dibiarkan? Atau kau sengaja menutup mata?” Pria itu langsung berkeringat dingin. “Maaf, Mister! Itu kelalaian saya. Akan segera diperbaiki hari ini juga.” “Bukan segera. Sekarang. Bawa semua timmu ke ruang rapat dalam lima belas menit.” “Ba… baik, Mister!” Pria itu hampir tersandung ketika keluar dengan tergesa. Rafael hanya menatap sekilas sebelum kembali mencatat agenda. Itulah yang membuat Elvano disegani sekaligus ditakuti. Bagi banyak orang, ia seperti sosok tanpa cela. Tegas, cepat mengambil keputusan, dan selalu menuntut kesempurnaan. Tapi di sisi lain, wibawa itulah yang membuat perusahaan Moretti Group melesat jauh melampaui pesaing. Para karyawan wanita sering berbisik-bisik soal ketampanannya. “Mata tajamnya itu menusuk banget, ya ampun…” atau “Kalau saja dia nggak segalak itu, pasti udah jadi idaman semua orang…” Namun, meski banyak yang terpesona, tak seorang pun berani main-main di hadapannya. Satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal bagi karier seseorang. Pukul sepuluh tepat, ruang rapat besar sudah dipenuhi oleh beberapa perwakilan investor dari Jepang. Mereka membawa dokumen, laptop, dan wajah serius. Begitu Elvano masuk, semua berdiri memberi salam hormat. “Selamat datang, Mister Demian,” ucap pimpinan rombongan dengan bahasa Inggris fasih. Elvano hanya mengangguk singkat, lalu duduk di kursinya. “Mari kita mulai. Saya tidak suka buang waktu.” Presentasi dimulai. Angka-angka ditampilkan di layar, grafik keuntungan, proyeksi bisnis, hingga rencana ekspansi ke Asia Tenggara. Sesekali Elvano mengajukan pertanyaan tajam yang membuat beberapa orang terdiam sejenak, mencari jawaban terbaik. Namun ketika ia tersenyum tipis—yang sangat jarang terjadi—ruangan itu terasa lega. Kesepakatan akhirnya tercapai. Kontrak baru ditandatangani, menandai langkah besar bagi perusahaan itu. Para investor tampak puas, meski mereka tahu, bekerja sama dengan Moretti Group berarti harus siap dengan standar tinggi yang ditetapkan sang CEO. Setelah semua agenda pagi selesai, Elvano kembali ke ruangannya. Ia berdiri di depan jendela, menatap langit Jakarta yang kini mulai cerah. Dari balik kaca, ia bisa melihat lalu lintas padat, gedung-gedung yang menjulang, dan hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti. Namun pikirannya tidak hanya tertuju pada bisnis. Sekilas, bayangan wajah Evana muncul dalam ingatannya. Gadis itu, dengan segala kepolosan dan keberaniannya, telah membuat hatinya yang selama ini beku sedikit terguncang. Tangannya sempat meraih ponsel di meja. Jemarinya terhenti sejenak di layar, seakan ragu. Nomor Evana memang belum ia bagikan. Ada alasan kenapa ia menjaga jarak. Tapi kini, setelah pertemuan itu, ia mulai mempertimbangkan ulang. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Rafael masuk, membawa map baru. “Tuan, ini undangan gala dinner akhir pekan. Kehadiran Anda sangat dinantikan.” Elvano menoleh perlahan, ekspresinya kembali datar. “Kirim jawaban. Saya akan hadir.” "Baik, Tuan." Begitu Rafael meninggalkan ruangan, Elvano menghela napas panjang. Belum juga pria itu kembali duduk di kursi kebesarannya, ponsel di atas meja berdering. Elvano mendekat dan meraihnya. Nama Lucia tertulis di sana. Elvano segera mengubah ekspresi wajahnya. Jika berhadapan dengan sang ibu, maka Elvano akan berubah menjadi seorang putra yang manis dan penurut. "Halo!" "Tuan, Nyonya besar ingin bicara," ucap Lucia di seberang sana. "Baik." Tak lama kembali terdengar suara merdu seorang perempuan. "Demian, apa kau sibuk malam ini?" "Tentu saja tidak jika itu untukmu, Mom." "Pulanglah ke rumah. Mom rindu makan malam denganmu. Syukur-syukur jika kau mau datang dengan membawa pasangan. Maka Mom pastikan, kesehatan Mom akan sepenuhnya pulih seketika." "Aku akan usahakan untukmu, Mom." "Baiklah. Jangan terlalu sibuk bekerja. Pikirkan juga kesehatanmu, Demian." "Okay, Mom." "Ya sudah. Mom tutup teleponnya. Mom tunggu kehadiranmu nanti malam. Bye!" Hela napas berat keluar dari sela bibir Elvano. Pria itu kembali mengotak-atik ponselnya lalu menempelkan di telinga. Pria itu tengah menghubungi seseorang. "Dario, siapkan gaun terbaik untuk dipakai Evana malam nanti. Aku akan membawanya bertemu Mom malam ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN