Senin pagi biasanya adalah hari paling sibuk di kantor. Lobi dipenuhi karyawan yang baru masuk, suara langkah kaki bersahutan di lantai marmer, dan bunyi lift naik-turun seakan tanpa henti. Orang-orang tampak bersemangat dengan setelan formal, membawa kopi di tangan, seolah siap menghadapi seminggu penuh pekerjaan.
Namun, ada satu sosok yang tampak kontras dengan suasana itu. Evana.
Gadis itu berjalan gontai melewati pintu kaca gedung, rambutnya yang biasanya tergerai rapi kini diikat asal-asalan. Matanya sembab, wajahnya pucat tanpa riasan. Bahkan pakaiannya pun tak seceria biasanya, hanya blouse krem polos yang sedikit kusut, dipadukan rok hitam yang tampak seperti dikenakan tergesa-gesa.
Sinta, yang baru saja tiba lebih dulu dan sedang duduk di dekat meja resepsionis, langsung menangkap perubahan sahabatnya itu. Alisnya terangkat tinggi, matanya meneliti dari ujung kepala hingga ujung kaki Evana.
“Ya ampun, Va…” Sinta berdiri cepat, menghampiri sahabatnya. “Wajahmu kusut banget! Mukamu tuh udah kayak kerupuk kena hujan. Ceritain sekarang, apa yang terjadi?”
Evana menelan ludah, mencoba mengalihkan. “Nggak ada apa-apa. Aku cuma kurang tidur.”
Sinta menyipitkan mata. “Kurang tidur? Bohong! Malam itu kamu telepon aku kayak lagi panik banget gitu. Mana yang kamu tanyakan Elvano lagi. Berarti ada sesuatu yang serius. Jangan bikin aku kepo sendiri. Ceritain!”
Evana menghela napas panjang. Tangannya menggenggam erat tas yang ia bawa. Wajahnya semakin muram.
“Aku…” suaranya parau. “Aku mau dijodohkan dengan duda.”
Sinta terperangah. Mulutnya hampir jatuh terbuka lebar. “APA?!” Suaranya terlalu keras sampai beberapa karyawan menoleh ke arah mereka.
Evana buru-buru menaruh telunjuk di bibir, memberi isyarat agar Sinta mengecilkan suara. “Pelanin, Sin! Jangan bikin heboh!”
Sinta langsung menarik Evana ke pojok ruangan dekat mesin fotokopi, menjauh dari kerumunan. Wajahnya masih terkejut luar biasa.
“Dijodohkan dengan duda?!” bisiknya dengan nada setengah berteriak. “Astaga, Va! Sejak kapan? Siapa yang menjodohkan? Jangan bilang… ibumu lagi?”
Evana menunduk. “Iya. Minggu lalu aku dipaksa ikut acara pertunangan sepupuku. Di sana… Ibu malah ngenalin aku sama seorang duda tiga anak. Masih kerabat dekat. Namanya Hendra. Katanya dia pengusaha minimarket.”
Mata Sinta membulat. “Pengusaha minimarket? Duda tiga anak? Astaga, Va… kamu bukan jualan roti di minimarket, tapi disuruh jadi emak sambung tiga bocah?!”
“Makanya aku stres, Sin.” Evana memijit keningnya. “Aku udah tolak baik-baik, tapi Ibu malah nerima lamaran Hendra. Sabtu malam kemarin seharusnya Hendra datang melamar. Tapi batal nggak tau apa sebabnya."
Sinta menghela napas keras, mencoba mencerna semua itu. “Ya ampun, Va… terus… apa hubungannya dengan kamu yang kemarin tiba-tiba minta nomor Elvano?”
Evana menggigit bibirnya, wajahnya memerah. Ia ragu untuk menjawab, tapi akhirnya keluar juga. “Aku… mau minta Elvano nikahin aku.”
Sinta terbelalak. “APA?!” Suaranya kembali meninggi.
“Shhh!!!” Evana buru-buru menutup mulut sahabatnya dengan tangan. “Jangan kenceng-kenceng! Nanti semua orang denger.”
Sinta menepis tangan Evana, menatapnya tajam. “Evana, kamu sudah resmi gila. Sumpah! Kamu mau minta dinikahi Elvano? Pantesan kamu ngejar-ngejar Elvano selama ini."
Evana mengangguk pelan, wajahnya semakin merona. “Iya habisnya siapa lagi yang bisa aku jebak buat nikahin aku, Sinta!"
Sinta menepuk jidatnya sendiri. “Astaga, Va. Dari semua solusi yang ada, kenapa otakmu muter ke situ? Kamu bisa kabur dari rumah, kamu bisa nolak langsung Hendra. Tapi malah kamu milih minta Elvano ngelamar kamu?!”
“Aku terpojok, Sin,” ucap Evana lirih. “Aku nggak punya pilihan lain. Kalau aku nggak segera punya alasan kuat, Ibu bakal paksa aku nikah sama Hendra. Aku… aku nggak sanggup.”
Sinta memandang sahabatnya dengan campuran iba dan gemas. “Ya Tuhan… terus sekarang gimana? Elvano setuju nikahin kamu? Bukankah kamu bilang Hendra batal nglamar kamu?"
Evana menghela napas. “Batal ngelamar belum tentu nggak jadi dipaksa nikah. Asalkan...."
"Asalkan apa?"
"Asal Elvano mau datang ke rumah sambil bawa keluarganya buat ngelamar aku. Barulah ayah dan ibu nggak bakal ngejodohin aku lagi. Karena itulah aku butuh nomer telepon Elvano. Aku ingin bicara tentang ini, Sinta."
Sinta geleng-geleng kepala tak habis pikir dengan rencana Evana.
"Memangnya Elvano mau kamu suruh ngelamar kamu?"
Evana mengangguk. Sinta melotot. "Hah?!"
"Iya. Elvano sudah aku bawa buat ketemu Ayah dan ibu tapi tetap saja mereka nggak percaya kalau Elvano mau nikah sama aku. Mereka pikir Elvano adalah orang bayaran yang aku sewa."
"Aku sih juga bakal mikir yang sama kayak ayah dan ibumu. Ini nggak ada angin nggak ada hujan, masak iya Elvano mau-mau saja kamu bawa ketemu orang tuamu?"
"Ya udah kalau nggak percaya. Kamu tanya sendiri saja sama orangnya. Aku sendiri juga nggak tau kenapa dia mudah sekali menerima tawaranku."
"Sekarang Elvano-nya mana? Sumpah aku penasaran dan ingin tau sendiri darinya apa alasan dia mau-mau saja dicegilin sama kamu."
"Iya kok tumben jam segini dia belum kelihatan."
Evana celingak-celinguk mencari-cari sosok Elvano yang memang tidak terlihat di dalam ruangannya.
Hari itu, Evana benar-benar tidak bisa konsentrasi bekerja. Matanya terus melirik ke arah pintu, berharap Elvano muncul tiba-tiba dengan wajah datar khasnya. Tapi hingga jam makan siang, hingga jam pulang, kursi Elvano tetap kosong.
“Apa dia nggak masuk ya?” bisik Evana dengan wajah semakin kusut.
Sinta yang duduk di sebelahnya menggeleng. “Aku udah tanya ke anak-anak IT, katanya Elvano nggak ada kabar. Nggak izin cuti, nggak juga absen. Seolah dia hilang.”
Evana mencengkeram rambutnya frustasi. “Ya ampun… Sin… kalau dia beneran hilang, aku harus gimana? Aku bisa dilempar lagi ke Hendra.”
Sinta menghela napas, lalu menepuk pundak sahabatnya. “Tenang dulu, Va. Jangan panik. Mungkin dia ada urusan penting. Kita tunggu besok, siapa tahu dia muncul.”
“Tapi kalau besok dia nggak muncul juga?” Evana menatap Sinta dengan mata penuh kecemasan.
Sinta menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum miris. “Kalau besok dia nggak muncul juga… ya berarti kamu harus benar-benar totalitas usahanya, Va. Kamu yang nyari dia.”
Evana menelan ludah. Bayangan wajah Elvano melintas di benaknya. Pria itu misterius, dingin, selalu menolak kehebohan yang ia buat. Tapi entah kenapa, justru dalam situasi paling gawat seperti ini, hanya Elvano yang ia harapkan datang menyelamatkan.
Hatinya semakin kacau.
Sementara di luar pengetahuan Evana, Elvano memang tidak menginjakkan kaki di kantor hari itu. Pria itu sedang berada di tempat lain, menjalankan pekerjaan utamanya.
Dan Evana… tanpa sadar, sedang melibatkan dirinya pada sebuah permainan besar yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.