Suara detik jam di pergelangan tangan Aura terdengar semakin nyaring di telinganya. Satu-satunya irama yang menyadarkannya bahwa waktu terus berjalan, meski terasa lambat dan menyiksa. Aura masih duduk di kursi tunggu, tepat di luar ruang operasi. Bahunya tegak, tapi matanya kosong. Wajahnya pucat dan tangannya menggenggam erat tas kecil yang ia bawa, seperti menggenggam sisa-sisa keberanian yang hampir habis. Aura menatap pintu ruang operasi B tanpa berkedip, seolah berharap bisa menembus dinding itu, dan memastikan bahwa Keisya baik-baik saja. Namun, yang tak ia sadari, justru bayangan masa lalu yang kini perlahan menyelinap, menelusup ke dalam pikirannya, tentang dia dan Firdaus, tentang janji-janji yang dulu pernah diucapkan. "Aku nggak peduli dunia kayak apa, Ra, kita akan tetap j