Empat puluh lima menit berlalu. Aku terdiam sejenak. Mengatur nafas. Mengendalikan emosi. Ruangan berukuran tiga kali tiga ini kembali hening. Hanya suara isak tangisku yang terdengar. Ya, wajahku sudah bersimbah air mata. Tanganku sibuk menghapus air mata yang seolah tiada habisnya. Kak Dira keluar sebentar, mengambil tisu untukku. “Nggak usah ditahan. Kalau mau nangis, nangis aja.” Kak Dira kembali dengan sekotak tisu di tangannya. Aku mengangguk. Terus menangis. Memori perpisahan dengan Ayah dan Ibuku itu terekam jelas, mengalir seperti anak sungai. Satu demi satu kejadian di masa lalu seolah berputar kembali. Aku masih bisa merasakan nyeri dan sesak di dadaku karena penderitaan yang kualami. Hari ini aku baru menyadari. Ternyata selama sepuluh tahun terakhir, tidak pernah sedetik pu