“Apa? Kenapa kamu tiba-tiba marah kayak gitu? Saya pulang bukannya disambut baik malah marah-marah,” suara Hakim terdengar berat, sedikit serak karena lelah, namun ada bara yang berdesir di balik nada datarnya. Wajahnya tetap tegas, rahang mengeras, seragamnya masih sempurna, bahkan aroma logam dari luar masih melekat di tubuhnya. Zivanna menatapnya tajam, tubuhnya sedikit condong ke depan, seperti seekor kucing yang siap menerkam. “Mas keterlaluan. Kenapa kamu nyuruh Alin berhenti kerja sama sama aku?” nadanya tegas, tapi bibirnya bergetar menahan emosi. “Kita udah punya satu tujuan, proyek itu bukan main-main.” Hakim menarik napas panjang, kedua bahunya sedikit naik lalu turun, mencoba menahan diri. “Saya bisa kasih kamu arsitek dan seniman terbaik. Lebih dari sekadar Alin. Kamu nggak