Perasaan Zivanna tidak karuan. Semalam ia kembali tidur sendirian, dan pagi ini lagi-lagi ia membuka mata tanpa sosok Hakim di sisinya. Sejenak ia hanya berbaring, memandangi langit-langit, membiarkan sisa kantuk bercampur dengan rasa hampa yang menggantung di dadanya. Ia memutuskan untuk mandi lebih dulu, berharap air yang dingin bisa menyapu kusut di kepalanya. Setelah selesai, ia turun ke lantai bawah dengan diam-diam, menapaki anak tangga seperti orang yang tengah menimbang setiap langkah. Ada harapan kecil di dadanya, mungkin Hakim masih ada di rumah… mungkin mereka bisa berbicara pagi ini. Namun ruang keluarga kosong. Pelayan yang tengah membereskan vas bunga di sudut, menoleh dan menatapnya sebentar, seolah membaca kegundahan itu dari raut wajahnya. “Pak Hakim sudah berangkat, Bu