“Terus? Intinya apa yang lo ceritain ini? Om Hakim udah jelas suka dan mau sama lo. Terus gue harus gimana? Gak perlu kan bikin tutorial buat lo dengan judul ‘cara membalas perasaan seorang pria’?” bentak Kezia tanpa tedeng aling-aling. Zivanna mengerjap, pensil di tangannya berhenti menari di atas halaman skripsi yang sudah lusuh karena disorot mata terus-menerus. Mereka duduk di bangku pojok Perpustakaan Fakultas, dekat jendela yang menghadap taman belakang kampus. Cahaya matahari sore menembus kaca, mengenai pipi Zivanna yang perlahan memerah. “Gue... cuma butuh waktu,” gumam Zivanna, suaranya nyaris tenggelam dalam desau kipas angin tua yang berdengung malas di sudut ruangan. Pipinya mengembung, seperti anak kecil yang tertangkap basah menyembunyikan permen. Kezia mendengus. “Waktu?