Zivanna tidak bisa berhenti menangis. Tubuhnya seperti kehilangan seluruh kekuatan, kakinya lemas, bahkan ia merasa tak sanggup lagi berdiri di lantai dingin itu. Tangisannya bukan lagi sekadar air mata yang jatuh, melainkan isakan pecah yang seolah mengeluarkan seluruh luka dan penat dari tahun-tahun panjang yang selama ini ia bungkam. Hakim, tanpa berkata apa-apa, hanya menarik napas panjang sebelum mengangkat tubuhnya dengan mudah ke dalam gendongan. Satu tangan menopang tubuh Zivanna, satu lagi menjaga cupcake yang belum tersentuh. Ia tiup dulu lilin sebelum meletakannya di nakas dekat ranjang untuk nanti dinyalakan lagi pada Zivanna. Hakim duduk bersandar di sandaran tempat tidur, lalu menempatkan Zivanna dalam pangkuannya. Tubuh mungil itu tetap memeluknya, enggan melepaskan, seolah