Zivanna menatap pria di hadapannya tanpa berkedip. Bahkan sekarang, ketika ia bisa menyentuh wajah itu. yang hangus oleh matahari dan kasar oleh medan, ia masih belum percaya. Napasnya menggantung, dadanya sesak bukan oleh duka, melainkan oleh ledakan harapan yang tak pernah benar-benar padam. Pria itu, suaminya… Hakim Rajani Jagatara, tengah berbaring di ranjang kamar tamu rumah joglo yang hangat, tubuhnya bersandar di balik sandaran bantal dan lengannya terentang, merangkul Zivanna yang menyandarkan kepala di dadanya. Kehangatan yang sudah lama hilang kini terasa lagi, membuat Zivanna nyaris tak sanggup menahan air mata. Tapi pagi ini bukan untuk air mata, bukan pula untuk kehilangan. Ini adalah pagi pengembalian. “Jadi... gimana bisa?” bisik Zivanna, suaranya rendah, seolah takut jika