“Saya perlu ke dokter,” ucap Hakim tiba-tiba, suaranya datar namun terdengar dalam, membuat Ardian yang tengah menyetir menoleh setengah dengan pandangan heran. “Pak, maaf... Bukankah dokter sudah dikirim ke rumah untuk periksa Bu Zivanna?” Hakim menggeleng pelan, tetap menatap lurus ke depan. Jari-jarinya mengetuk ringan permukaan iPad di pangkuannya, tapi matanya tidak benar-benar membaca. “Ini untuk saya sendiri.” Perlahan, ekspresi sang ajudan berubah. Namun setelah beberapa detik hening yang menggantung canggung di dalam kabin mobil dinas itu, ia memberanikan diri bertanya, “Kalau boleh tahu… dokter apa yang dimaksud, Pak?” “Sepertinya... psikolog.” “Baik, saya carikan yang tercepat untuk siang ini. Mungkin bisa ke Paviliun Garuda atau RS Brawijaya.” Hakim tidak menanggapi. Ia h