Kali ini Zivanna sangat bersyukur sebab ia terbangun dalam keadaan berada di dalam pelukan Hakim. Lengan kekar itu melingkari pinggangnya erat, seolah masih ingin menahan dunia agar tak menyentuhnya. Padahal pertengkaran mereka belum lama berlalu, tapi rasanya seperti luka yang menakutkan. Zivanna tahu dirinya sering terlalu berapi-api; kadang, sifatnya sendiri membuatnya heran. Ia menghela napas pelan, mencoba bangun tanpa membangunkan suaminya. Namun, sebelum sempat menggeser tubuhnya, genggaman Hakim di pinggangnya menguat. “Tidur lagi sebentar,” suara berat itu terdengar serak, masih setengah tertelan kantuk. Zivanna menoleh, tersenyum kecil melihat mata Hakim masih terpejam. “Mas, ini sudah siang,” bisiknya, “aku mau buat sarapan.” Hakim menggeleng samar, menariknya lebih dekat hin