Zivanna tidak tahu harus menjawab apa atas pernyataan Hakim itu. Terlalu banyak yang ingin ia katakan, tapi lidahnya seolah tak sanggup mengeluarkan satu pun dari deretan kalimat yang berkecamuk dalam benaknya. Matanya menatap jemari yang masih digenggam pria itu, hangatnya tak kunjung pudar meski kini tangannya nyaris gemetar. Laki-laki di hadapannya bicara seperti bukan seorang perwira. Bukan seorang Jagatara. Tapi seperti seseorang yang sedang belajar mengeja rasa dari awal. Dan ketika akhirnya ia berhasil membuka suara, yang keluar justru kalimat pelan yang melesat seperti pisau, “Bukannya kita… pernikahan kontrak?” gumam Zivanna, nyaris seperti bisikan. “Sejak awal, sepakat untuk menyenangkan orangtua masing-masing…” Ada jeda panjang setelah kalimat itu. Tapi Hakim tidak tampak ter