“Kenapa Papa gak bilang?” suara Zivanna terdengar pelan, tapi jelas bergetar. Ada retakan di balik nada itu, seperti kaca bening yang akhirnya menemukan palu dan pecah. Adnan menghela napas, sorot matanya tetap tajam meski selang infus melekat di tangannya yang mulai berkerut usia. “Karena Hakim ingin kamu mencintainya tanpa paksaan. Dia ingin memenangkan hati kamu, Na. Bukan karena pernikahan. Bukan karena kesepakatan. Tapi karena kamu memilih dia. Dengan sadar. Dengan bebas.” Zivanna diam. Matanya menatap lantai, seperti mencari sesuatu di antara pori-pori ubin rumah sakit yang dingin. Adnan melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih berat, seperti menggali masa lalu yang enggan ia buka. “Krisna itu bukan anak jahat. Tapi dia bukan laki-laki yang siap untuk kamu. Papa pernah lihat d