Kezia sudah tiga hari tidak bisa menghubungi Zivanna. Dan bagi Kezia, itu lebih dari cukup. Ia tahu sahabatnya butuh waktu untuk memproses segalanya, tapi tiga hari tanpa kabar, tanpa balasan, bahkan tanda online pun nihil, Kezia tak bisa lagi menunggu. Pagi itu, ia berdiri di depan lemari pakaiannya, memilih kaus dan celana santai lalu mengikat rambut ke atas sebelum bergegas menuruni tangga kayu rumah bergaya kolonial yang sudah dihuni keluarganya sejak sebelum ia lahir. Namun langkahnya terhenti di anak tangga terakhir, saat melihat seorang pria paruh baya dengan rambut perak rapi, mengenakan batik lengan panjang dan celana kain, sudah lengkap dengan tas kulit cokelat dan sepatu bersih yang mengilap. “Pagi, Nak. Mau ke mana?” tanya pria itu, Brigadir Jenderal (Purn.) Baharudin R. Prak