Zivanna membiarkan kakinya dipijat oleh Hakim. Jemarinya yang kuat terasa tegas namun lembut saat menekan titik-titik nyeri di pergelangan dan betisnya. Mereka masih berada di studio seni kampus yang sepi dan hangat oleh aroma tanah liat. Suara rintik air yang membentur kaca mengiringi keheningan di antara mereka. Zivanna menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang namun tak benar-benar jauh dari pria yang sedang duduk di depannya, masih berlutut di lantai. “Saya tahu kamu di sini dari Kezia,” kata Hakim tenang, suaranya dalam dan dingin, tapi bukan tanpa kelembutan. “Dia sedang mengasuh anak Kolonel Ardanta. Dan Kolonel itu... rekan saya.” Zivanna mendengus pelan, tidak langsung menanggapi. Tatapannya tetap lurus menatap ke luar jendela, seperti enggan menyatu dalam percakapa