Ardanta menghela napasnya dalam. Sesekali ia melirik Kezia yang terkantuk lemah di bangku penumpang. Nafas gadis itu berat dan pendek, sesekali mulutnya bergumam tak jelas, seperti memanggil nama dirinya atau mengaduh pada bayang-bayang mimpi. Dalam diam, Ardanta menggenggam kuat setir kemudinya. Ia tidak tahu persis nomor unit apartemen Kezia, dan tidak mungkin membiarkan perempuan itu sendirian dalam kondisi seperti ini. Maka ia memutar balik kendaraan menuju satu-satunya tempat yang ia tahu pasti akan terbuka untuk Kezia, rumah sang ayah. Lampu pagar rumah keluarga Prakoso masih menyala terang, jam dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Penjaga gerbang langsung membuka palang tanpa pertanyaan begitu melihat plat kendaraan Ardanta. Mobil meluncur masuk ke halaman rumah yang te