Arafah menatap cincin di tangan Bima—yang masih belum berani dia terima—lalu ke mata pria di depannya. Arafah tahu, menerima lamaran ini berarti menerima segala risiko yang menyertainya. Hidup dengan seorang tentara di garis depan berarti hidup dalam ketidakpastian. Tetapi bukankah selama ini dia juga hidup dalam ketidakpastian? Di tempat seperti ini —di mana nyawa begitu rapuh— kebahagiaan terasa seperti sesuatu yang mewah. Dan di sini, di bawah langit malam yang bersinar, Arafah akhirnya menyadari satu hal. Bima bukan hanya seseorang yang ingin dia lindungi, melainkan seseorang yang ingin dia habiskan sisa hidup bersama. Arafah menarik napas panjang sebelum tersenyum kecil. "Kalau begitu," katanya pelan, "Komandan harus melindungiku sebaik aku melindungimu." Bima mengerjapkan mata.