Darah di wajah Arafah seketika surut. Dadanya berdegup terlalu kencang. Sesekali, perempuan itu menoleh sekilas ke sekitar, memastikan apakah ada yang mendengar. Tapi tidak ada yang peduli—semua orang sibuk dengan pasien masing-masing. Sibuk menahan sakit, lagi berperang melawan maut. "Komandan," bisiknya lagi bersama hela nafas. Lantas memanggil sosok di hadapannya dengan lirih. "Mas Bima, aku sedang bekerja." "Saya tahu." "Dan Mas baru saja kembali dengan penuh luka." "Saya tahu." "Dan Mas masih harus pergi entah ke mana." Bima terdiam sesaat, tertegun sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Saya tahu." "Kalau Mas tahu, kenapa Mas malah begitu berani melamarku sekarang?" Arafah mulai frustrasi, sebagian karena perasaannya sendiri yang mulai kacau. Bima menarik napas, lalu menatap