Malam itu, seperti hari–hari biasa, Arafah duduk di tepi ranjang menunggu kepulangan suaminya. Dua tangan saling menggenggam erat di atas pangkuan, mata sayunya menatap lantai dengan pandangan kosong. Tidak ada gairah di sana, hanya ada kesedihan yang terus–menerus terbaca. Bima baru saja pulang dan gegas masuk ke dalam kamar. Wajahnya terlihat letih. Dia tidak berani menceritakan apa saja yang baru terjadi di rumah kedua orang tuanya pada Arafah. "Arafah?" panggilnya hati-hati. "Belum tidur? Sengaja nunggu Mas atau apa?" Arafah menoleh perlahan. Matanya berkilat dalam cahaya redup lampu kamar. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, sesuatu yang membuat Bima merasakan kecemasan yang aneh. "Kamu kenapa?" tanya Bima lagi, mendekatinya. "Sakit?" Arafah menarik napas dalam, lalu terse