Dari awal pernikahan—dari awal semuanya dimulai—Kirana sudah tahu bahwa dirinya hanya bayang-bayang seseorang yang tak ada, dia tahu tempatnya bukan di hati Bima. Hanya saja, mendengar lelaki itu mengakuinya secara langsung—bahwa hidupnya hancur berantakan setelah Arafah pergi—sangat menyakitkan untuk didengar. Perempuan yang matanya merah sebab lama menangis itu menundukkan kepala, merasakan dadanya berdenyut nyeri. Sedang di sisi lain, Bima tertawa pelan, tetapi tawanya terdengar penuh keputusasaan. "Kamu tahu apa yang lebih menyedihkan, Kirana?" tanyanya, terdengar parau. "Saya bahkan tidak tahu saya masih hidup untuk apa, untuk siapa. Saya tidak lagi hidup untuk diri saya sendiri." Kirana menjatuhkan tubuhnya yang terasa tak bertulang, menatap pedih ke arah Bima dengan kekecewaan me