Bima berdiri di bawah pancuran, membiarkan butiran-butiran air mengalir di sepanjang tubuhnya yang masih sedikit lelah setelah jogging. Meskipun tubuhnya terasa lebih lelah dari biasa —sebab semalam hampir mengeluarkan seluruh kemampuannya membahagiakan istri tercinta— hatinya terasa hangat luar biasa. Bima sesekali tersenyum sendiri, mengingat bagaimana Arafah enggan melepaskannya tadi. Dulu, dia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang menunggunya pulang, mencemaskannya hanya karena dia keluar sebentar. Dulu, pulang baginya hanyalah sebatas kembali ke barak atau tempat singgah sementara. Tidak ada yang benar-benar menunggu. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Tapi sekarang, ada Arafah. Ada seseorang yang melihatnya sebagai rumah. Seseorang yang menunggu dengan mata berkaca-ka